Kajian Desain Kebijakan Pajak Sarang Burung Walet

04 Februari 2022, Penulis : HADIYANTO

A. Pendahuluan

Sarang burung walet  banyak dihasilkan dari pulau Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi. Sarang burung walet atau disebut edible bird's nest dibuat dari air liur burung walet itu sendiri tanpa ada campuran dari bahan dari luar tubuhnya. Seekor burung walet mampu merekatkan bahan-bahan sarangnya dengan air liur dalam waktu 8 (delapan) minggu. Biasanya, burung walet akan membuat sarang di tempat yang jauh dari keramaian seperti di langit-langit goa ataupun di atas gedung yang tinggi. Hingga saat ini, sarang burung walet  dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan dan kecantikan.

Dewasa ini, sarang burung walet sudah menjadi salah satu andalan ekspor ke mancanegara. Selain Cina, ada 23 negara tujuan ekspor lain bagi sarang burung walet  dari Indonesia, antara lain Australia, Amerika Serikat, Kanada, Hongkong, Singapura, Afrika Selatan dan lainnya. Berdasarkan data pada sistem perkarantinaan, IQFAST Badan Karantina Pertanian (Barantan) tercatat bahwa selama masa pandemi Covid 19, jumlah ekspor sarang burung walet  sebanyak 1.155 ton dengan nilai Rp28,9 triliun atau meningkat 2,13% dari pencapaian di tahun 2019 yang hanya sebanyak 1.131,2 senilai Rp28,3 triliun saja. Sebagai pengekspor sarang burung walet terbesar didunia, pelaku usaha Indonesia banyak menyasar pasar Cina karena harga jual yang lebih tinggi dibandingkan negara tujuan lain, yakni antara Rp25 juta hingga Rp40 juta per kilo. Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara eksportir sarang burung walet  ke Cina sebesar 75,3%.

 

B. Konsep dan Teori

Ditinjau dari segi lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN &PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan Migas, Pertambangan Panas Bumi, Pertambangan Minerba dan Lainnya (P5L). Pajak Pusat dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Sesuai Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua), antara lain Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Jenis Pajak Provinsi terdiri atas Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Sedangkan, jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas 11 (sebelas) jenis yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang burung walet , Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

 

C. Aspek Perpajakan Usaha Sarang Burung Walet  

1. Pajak Daerah

Berdasarkan Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Pajak Daerah dan retribusi Daerah (UU PDRD), Pajak Sarang Burung Walet (SBW) adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet . Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. Rumusan dalam UU PDRD disebutkan bahwa objek pajak sarang burung walet  adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet . Tidak termasuk objek pajak adalah pengambilan sarang burung walet  yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet  lainnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah.  

Dalam Pasal 73 UU PDRD disebutkan bahwa subjek pajak sarang burung walet  adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet . Wajib pajak sarang burung walet  adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet. Dasar pengenaan pajak sarang burung walet adalah nilai jual sarang burung walet. Nilai jual sarang burung walet  dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di daerah yang bersangkutan dengan volume sarang burung walet . Tarif pajak sarang burung walet  ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif pajak sarang burung walet  ditetapkan dengan peraturan daerah. Besaran pokok pajak sarang burung walet  yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak, dengan formula:

 

Pajak Sarang Burung Walet = 10% x Nilai Jual Sarang Burung Walet

 

Pajak sarang burung walet  yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet . Sesuai Pedoman Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, atas pengambilan sarang burung walet  di habitat alami, seperti hutan dan gua merupakan objek PNBP.

 

2. Pajak Pusat

a. Pajak Penghasilan

Wajib pajak sarang burung walet  baik orang pribadi maupun badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet , juga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh), dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Besaran Pajak Penghasilan yang bersifat terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak, dengan tarif sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dalam jangka waktu tertentu.  

 

PPh Final = 0,5% x Peredaran atas Penjualan Sarang Burung Walet

 

2) Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Besaran Pajak Penghasilan terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pasal 17 UU PPh dengan penghasilan netto.

 

PPh = Tarif Ps 17 x Penghasilan Netto atas Penjualan Sarang Burung Walet  

 

b. Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan ketentuan, sarang burung walet  tidak termasuk ke dalam jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jadi sangat jelas bahwa, sarang burung walet  merupakan Barang Kena Pajak (BKP) yang dikenai PPN. Oleh karenanya, wajib pajak sarang burung walet  baik orang pribadi maupun badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.

Adapun batasan pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Namun demikian, pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP. Wajib pajak sarang burung walet  yang telah dikukuhkan sebagai PKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP yang dilakukannya.

 

D. Pro dan Kontra Pajak

1. Prinsip Keadilan  

Prinsip keadilan ini, bermakna bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan lainnya dari negara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Keadilan ini berhubungan erat dengan hak pelaku usaha untuk diperlakukan secara setara tanpa adanya asas perbedaan kasta maupun jenis dari bisnis yang dilakoni. Lantas, apakah benar bahwa pelaku usaha sarang burung walet mendapat perlakuan tidak adil dari sisi perpajakan? Berikut disajikan perbandingannya:

a) Pengenaan Pajak Sesama Pelaku Usaha Sarang Burung Walet

Untuk lebih jelasnya akan diberikan ilustrasi sebagai berikut:

No

Pengambilan dan/atau Pengusahaan SBW

Pembebanan Pajak

Keterangan

Pajak Daerah

PPh

1

Habitat Alami (hutan, gua, dll) 

-

 

Wajib PajakDikenakan PNBP

2

Habitat Buatan ManusiaWajib PajakWajib Pajak 

 

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan perlakuan perpajakan diantara wajib pajak meskipun sama-sama melakukan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Untuk pengusaha rumah walet (habitat buatan), harus membayar pajak daerah dan pajak pusat (PPh), sedangkan pengusaha rumah walet (habitat alami) hanya membayar pajak pusat (PPh).

Contoh penghitungan:

1) Habitat Alami

Tn. Radya melakukan panen sarang burung walet  dari sebuah gua, senilai Rp.100 juta. Maka pengenaan pajaknya adalah:

- Pajak Daerah : Rp. 0 (nihil)

- Pajak Pusat : 0,5% x Rp.100 juta = Rp. 500 ribu (PPh Final)

Total pajak yang harus dibayar = Rp. 500 ribu.

2) Habitat Buatan Manusia

Tn. Andika membangun rumah walet di pekarangan milik sendiri. Beberapa waktu kemudian, melakukan panen sarang burung walet  dari rumah walet tersebut, senilai Rp.100 juta. Maka pengenaan pajaknya adalah:

- Pajak Daerah : 10% x Rp.100 juta  = Rp.10 juta

- Pajak Pusat : 0,5% x Rp.100 juta  = Rp.500 ribu (PPh Final)

Total pajak yang harus dibayar = Rp. 10,5 juta.

 

b) Pajak Sarang Burung Walet versus Pajak Daerah Lainnya

Perbandingan pengenaan perpajakannya, adalah sebagai berikut:

No

Jenis Pajak Derah

Pembebanan Pajak

Keterangan

Pajak Daerah

PPh

1Sarang Burung Walet -Wajib PajakHabitat Alami
Wajib PajakWajib PajakHabitat Buatan
2HotelKonsumenWajib Pajak 
3RestoranKonsumenWajib Pajak 
4HiburanKonsumenWajib Pajak 
5ReklameKonsumenWajib Pajak 
6Penerangan JalanWajib Pajak-Tidak dikenakan PPh
7Mineral Bukan Logam dan BatuanWajib Pajak*)Wajib PajakPajak daerah “dipersamakan” dengan royalti *)
8Pajak ParkirKonsumenWajib Pajak 
9Air TanahWajib Pajak-Tidak dikenakan PPh
10PBBWajib Pajak-Tidak dikenakan PPh
11BPHTBWajib PajakPihak lain**)PPh dibayar Pihak yang mengalihkan hak **)

Dari tabel diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk wajib pajak jenis pajak sarang burung walet, pengusaha rumah walet (habitat buatan), harus membayar pajak pusat dan daerah. Kedua pajak tersebut merupakan beban yang harus ditanggung oleh wajib pajak sendiri dan tidak dapat dibebankan kepada pihak lain atau lawan transaksi. Sedangkan untuk pajak daerah yang lain wajib pajak pajak daerah dibebankan ke pihak lain atau konsumen.

 

2. Pemungut Pajak

Seperti kita ketahui bersama, bahwa pajak sarang burung walet mungkin menjadi salah satu objek pajak yang paling sulit dipungut pemerintah daerah. Sudah banyak hal yang dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Terdapat tantangan tersendiri dalam memungut jenis pajak ini, mulai dari kepatuhan yang minim hingga usaha sarang barang walet yang sering kali merugi. Dalam praktiknya, tidak semua daerah memiliki potensi besar terkait pemungutan pajak sarang burung walet. Ada pula daerah yang dalam setahun penerimaan pajaknya dari sektor ini nihil. Oleh karenanya, tidak semua kabupaten/kota memungut pajak sarang burung walet. Bahkan ada pemerintah daerah yang memutuskan untuk menghapus pajak sarang burung walet  sebab tidak memberikan kontribusi yang banyak dalam pendapatan daerah.

Pengenaan pajak harus dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan/atau menghambat dunia usaha. Terkait pajak sarang burung walet , sering kali pelaku usaha bidang ini menghindari pembayaran pajak dengan alasan dikenakan pajak berganda. Ketika diminta membayar pajak daerah mereka berkilah telah membayar pajak penghasilan, sebaliknya ketika dihimbau membayar pajak penghasilan mereka keberatan karena merasa sudah membayar pajak daerah.

 

E. Kesimpulan dan Saran

Prospek ekspor sarang burung walet sangatlah menjanjikan. Komoditas ini sudah menjadi salah satu andalan ekspor ke mancanegara. Namun kontribusi sektor ini ke penerimaan pajak belum signifikan. Pajak sarang burung walet merupakan salah satu objek paling paling sulit dipungut pajaknya oleh pemerintah daerah.

Terlepas dari perdebatan apakah dikenakan pajak berganda atau tidak, rasanya hanya membuang energi saja. Maka sebaiknya, segera dilakukan desain ulang terkait kebijakan perpajakan atas sarang burung walet  dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Adapun masukan terkait desain pajaknya adalah sebagai berikut:

1. Mengubah Dasar Pengenaan Pajak Sarang Burung Walet.

Selama ini, dasar pengenaan pajak sarang burung walet adalah nilai jual sarang burung walet. Nilai jual sarang burung walet dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet yang berlaku di daerah yang bersangkutan dengan volume sarang burung walet. Dasar pengenaan pajak sarang burung walet diubah menjadi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Rumah Walet, dengan pertimbangan:  

a. Pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk mengetahui volume sarang burung walet yang dipanen.

b. Menghindari kesan pajak berganda antara Pajak Sarang Burung Walet dengan Pajak Penghasilan.

2. Menghapus Pajak Sarang Burung Walet.

Dalam rangka memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, maka pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet hanya dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) saja. Dengan kata lain sebaiknya pajak sarang burung walet dihapus dari pajak daerah, sehingga pemungutan pajak akan dilakukan oleh pemerintah pusat.

Kirim Komentar

0 Komentar