Mimpi Terbitnya Obligasi Daerah

12 Maret 2022, Penulis : Irfan Sofi

Saya bermimpi 10 tahun ke depan ada Pemerintah daerah yang bisa menerbitkan Obligasi Daerah karena hampir dua dasawarsa sejak peraturan terkait penerbitan obligasi daerah yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah yang telah dilakukan perubahan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.07/2015 belum ada yang goal. Sampai saat ini penerbitan obligasi daerah baru sampai tahapan nyaris terbit, ada saja hambatan atau permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing daerah yang akan menerbitkan Obligasi daerah tersebut.

Di mulai dari Provinsi DKI Jakarta gagal menerbitkan Obligasi Daerah untuk membangun Terminal Pulo Gebang yang pada akhirnya dibiayai dari SiLPA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah berganti Kepala Daerah baru. Berikutnya Provinsi Jawa Barat juga mengalami kegagalan menerbitkan Obligasi Daerah untuk membangun Bandara International Jawa Barat di Kertajati, Majalengka karena kewenangan atas kepelabuhan udara ada pada Pemerintah Pusat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal serupa juga terjadi untuk Provinsi Kalimantan Timur dimana belum berhasil menerbitkan Obligasi Daerah yang seyogyanya untuk membiayai jalan tol Balikpapan – Samarinda karena kewenangan pula akhirnya proyek tersebut dibiayai oleh Pemerintah Pusat.

Terbaru, ada Provinsi Jawa Tengah yang ingin membangun berbagai infrastruktur daerah salah satunya yaitu Pengembangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Moewardi Solo dengan menggunakan Obligasi Daerah, namun gagal karena belum mendapatkan ijin prinsip persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)-nya. Padahal Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2018 telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Daerah Piloting Penerbitan Obligasi Daerah dimana dalam prosesnya mendapatkan pendampingan dari Tim Pendampingan Penerbitan Obligasi Daerah yang terdiri dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Otoritas Jasa Keuangan. 

Saat ini, Pemerintah Pusat berupaya agar Pemerintah Daerah secepatnya ada yang mampu menerbitkan Obligasi Daerah. Beberapa langkah yang telah ditempuh oleh Pemerintah Pusat untuk mengupayakan hal ini antara lain dengan meninjau kembali atau memperbaiki peraturan – peraturan yang ada saat ini yang berpotensi menyulitkan daerah dalam proses penerbitan Obligasi Daerah. Aturan tersebut antara lain yaitu aturan terkait Pasar Modal dimana sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 63 Tahun 2017 dimana saat ini Pemerintah Daerah bisa menggunakan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dari sebelumnya yang harus menggunakan hasil audit dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar di OJK. Selain itu, terdapat juga POJK Nomor 29 Tahun 2018 mengenai penggunaan Dana Pensiun untuk berinvestasi di Obligasi Daerah, serta pengurangan besaran biaya pendaftaran yang hanya menjadi sebesar 0,0125 persen nilai emisi.

Masalah lain yang biasanya juga memberatkan Pemerintah Daerah yaitu terkait biaya studi kelayakanan pemeringkatan daerah. Biasanya kegiatan tersebut menghabiskan biaya yang besar dan perlu terlebih dahulu dianggarkan di dalam APBD. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Pusat dengan bantuan lembaga donor dapat membantu daerah dalam membuat studi kelayakan serta memberikan bantuan pendampingan penerbitan Obligasi Daerah dalam bentuk pelatihan untuk Sumber Daya manusia (SDM) yang akan menjadi Tim Pengelola Obligasi Daerah atau Debt Management Unit (DMU). Terkait persetujuan prinsip dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka penerbitan Obligasi Daerah hanya memerlukan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan persetujuan dari Menteri Keuangan. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Persetujuan DPRD diberikan pada saat pembahasan APBD.

Kondisi perekonomian saat ini yang kurang baik akibat adanya pandemi Covid-19 yang membuat turunnya pendapatan APBD serta fokus dari belanja APBD yang sebagian besar digunakan untuk belanja kesehatan dan bantuan sosial sehingga sulit untuk dilakukan penerbitan Obligasi Daerah. Satu lagi terkait kupon Obligasi Daerah yang harus dibayar Daerah jika menerbitkan Obligasi Daerah saat ini yang mana kondisi perekonomian kurang baik sehingga kupon akan tinggi yang diminta oleh Pasar. Kita berharap kedepan setelah perekonomian kembali pulih dari pandemi dan APBD dapat kembali sehat, Pemerintah Daerah bisa menggunakan Obligasi Daerah sebagai salah satu instrumen pembiayaan pembangunan infrastruktur di daerah.

Pemerintah Daerah dalam menjalankan pemerintahannya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah salah satu caranya yaitu melalui penyediaan infrastruktur publik (public infrastructure provision) di daerah. Penyediaan infrastruktur di daerah saat ini masih banyak yang mengandalkan dari anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Alokasi belanja infrastruktur di APBD saat ini juga masih rendah sedangkan kebutuhan akan pembangunan infrastruktur di daerah sangatlah besar. Kebutuhan pendanaan infrastruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara (RPJMN) Tahun 2020 – 2024 mencapai Rp6.445 triliun. Kebutuhan tersebut diperkirakan hanya dapat dipenuhi melalui APBN dan APBD sebesar 37 persen, selebihnya diperlukan partisipasi dari pihak swasta sebesar 42 persen, dan Badan Usaha Milik Negara/BUMN sebesar 21 persen. 

Saat ini, Pemerintah berupaya mendorong Daerah untuk menggunakan alternatif pembiayaan dalam mendanai pembangunan infrastruktur yang menjadi kewenangannya. Hal ini sesuai dengan arah Presiden RI dalam Rapat Kerja Pemerintah (RKP) dengan Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia pada tanggal 24 Oktober 2017 yaitu untuk mengoptimalkan alternatif pembiayaan di luar APBN dan APBD untuk percepatan pembangunan infrastruktur. Berdasarkan data APBD tahun 2021 yang telah diterima oleh Ditjen Perimbangan Keuangan per tanggal 20 Agustus 2021, diperoleh hasil bahwa sebagian besar belanja daerah digunakan untuk belanja pegawai serta belanja barang dan jasa yang jumlahnya mencapai 60,07 persen dari total belanja sedangkan untuk belanja modal hanya sebesar 15,59 persen. Belanja modal yang ada tidak semuanya juga digunakan untuk pembangunan infrastruktur publik di daerah. Dengan demikian diperlukan kreativitas Pemerintah Daerah untuk mencari pembiayaan alternatif yang sesuai untuk mengatasi kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur di daerah. 

Obligasi Daerah sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur Daerah merupakan salah satu jenis dari Pinjaman Daerah Jangka Panjang. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali (Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah). Pinjaman Daerah saat ini bukan merupakan sesuatu yang tabu lagi bagi Daerah karena telah banyak daerah yang memanfaatkannya untuk pembangunan infrastruktur mereka. Berdasarkan data Ijin Pelampauan Defisit (IPD) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan tahun 2021, total potensi pinjaman yang bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah adalah sebesar Rp59,4 triliun atau 0,34 persen proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2021 sebesar Rp17.472 Triliun. Namun demikian, per 21 Agustus 2021 baru Rp9,9 Triliun atau 0,057 persen dari proyeksi PDB yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah. Jumlah pagu sisa yang bisa dimanfaatkan oleh daerah masih sangat besar walaupun nantinya jumlah tersebut kemungkinan bertambah dengan adanya beberapa persetujuan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (Pinjaman PEN).

Kelebihan Obligasi Daerah selain dananya yang tidak terbatas seperti halnya jenis pinjaman dari bank dan nonbank, kelebihan lain dari Obligasi Daerah yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta berpartisapi dalam pembangunan daerah dan masyarakat ikut merasa memiliki asset yang dibangun Daerah dari Obligasi tersebut. Selanjutnya pembayaran pokok tidak harus diangsur krena dibayarkan saat jatuh tempo namun bisa dilakukan bayback atau dilunasi lebih awal. Jatuh tempo dapat ditetapkan lebih fleksibel sesuai kebutuhan dan biasanya jangkanya panjang. Penerbitan obligasi dapat dilakukan secara bertahap menyesuaikan dengan kebutuhan pendanaan dan dapat digunakan untuk membiayai beberapa proyek sekaligus. Obligasi Daerah juga akan membantu daerah menarik investor untuk dapat menanamkan modalnya karena daerah yang berhasil menerbitkan obligasi maka akan memiliki nilai lebih khususnya dalam hal transparansi dan akuntabilitas anggaran. Keberanian daerah untuk beralih menggunakan alternatif pembiayaan dalam pembangunan di daerah sangat diperlukan untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) yang selama ini Daerah masih mengandalkan Transfer dari Pemerintah dalam bentuk TKDD. 

Pembangunan infrastuktur untuk pelayanan publik akan dapat dilaksanakan lebih cepat dengan menggunakan alternatif pembiayaan seperti halnya Obligasi Daerah. Jika menggunakan anggaran yang dimiliki oleh Daerah yang jumlahnya terbatas dalam APBD, maka perlu secara bertahap pelaksanaan pembangunan sehingga hasilnya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat lebih cepat karena menunggu selesai pembangunannya. Namun demikian, prinsip kehati-hatian dalam prosesnya tetap harus dijaga serta penggunaan alternatif pembiayaan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan di daerah. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, kita semua dapat menyaksikan paling tidak ada satu Daerah yang bisa menerbitkan Obligasi Daerah. Apabila nanti sudah ada yang bisa menerbitkan Obligasi Daerah, maka akan diikuti oleh daerah-daerah lain.

Kirim Komentar

0 Komentar