Tinjauan Fiskal atas Sektor Hulu Migas di Indonesia

03 November 2021, Penulis : Arief Masdi

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui siaran pers tanggal 19 Januari 2021 menyampaikan bahwa cadangan minyak bumi dan gas bumi Indonesia tersedia untuk 9,5 tahun dan cadangan gas bumi untuk 19,9 tahun mendatang. Hal ini dengan asumsi tidak ada penemuan sumur minyak bumi baru dan tingkat lifting migas saat ini sebanyak 700 ribu barel oil per day (bopd) dan gas 6 billion standar cubic feet per day (bscfd). Penjelasan Menteri ESDM tersebut menggambarkan kondisi hulu migas Indonesia sebagai salah satu komoditas utama Indonesia sedang memasuki fase penurunan secara alamiah dan menunjukkan fase akhir kontribusi hulu migas bagi perekonomian Indonesia. 

Komoditas minyak bumi dan gas bumi (migas) merupakan salah satu komoditas terpenting bagi perekonomian Indonesia. Indonesia pernah tercatat sebagai negara pengekspor minyak bumi dunia dan menjadi anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia (OPEC). Kontribusi penerimaan negara sektor migas dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pernah mencapai sekitar 50-60 persen dari total APBN. Namun, seiring berkurangnya cadangan minyak bumi secara alamiah dan meningkatnya konsumsi minyak bumi dalam negeri, Indonesia tidak lagi menjadi eksportir minyak bumi bahkan secara neto menjadi negara importir minyak bumi hingga saat ini.

Menilik sejarah pertambangan migas, eksplorasi migas di Indonesia sudah dimulai sejak masa Hindia Belanda. Pertambangan migas di Indonesia dimulai dengan ditemukannya tambang minyak bumi secara komersial pertama kali tahun 1883 di Sumatera Utara. Dengan konsesi pengeboran sumur pertama diberikan kepada Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlansch Indie (kemudian berganti nama menjadi Royal Dutch Company). Proses eksplorasi minyak bumi di Indonesia sebetulnya telah dimulai sejak tahun 1871 (OPEC, 2016), menyusul setelah itu, sejumlah konsesi untuk pengusahaan migas di Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sampai dengan tahun 1924, tercatat terdapat 119 ijin konsesi pertambangan minyak bumi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945, perusahaan-perusahaan minyak tersebut kemudian dinasionalisasi. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dimana antara lain mengatur bahwa migas merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara, dan usaha pertambangannya hanya dapat dilakukan oleh perusahaan negara (Nasir, 2014). 

Selanjutnya, pada pertengahan tahun 1960, Indonesia memperkenalkan kontrak baru yang disebut production sharing contract (PSC) sebagai pengganti sistem konsesi di sektor pertambangan migas. Konsep PSC ini kemudian menjadi skema kontrak migas antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan di bidang pertambangan migas. Sampai dengan tahun 1975, telah beroperasi sebanyak 59 perusahaan migas yang telah menandatangani kontrak PSC (Nasir, 2014). Konsep PSC sendiri masih diterapkan hingga saat ini, baik PSC berbasis Cost Recovery maupun Gross Split, untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah (negara) dengan kontraktor dalam pengusahaan pertambangan migas. 

Dalam catatan kegiatan hulu migas Indonesia, lifting minyak bumi Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1977, dengan tingkat lifting migas melebihi 1,6 juta barel per hari. Capaian lifting minyak bumi tersebut sedikit menurun menjadi sebesar 1,5 juta barel per hari secara rata-rata untuk kurun waktu tahun 1980-1998. Setelah itu, lifting minyak bumi Indonesia mengalami tendensi penurunan secara terus-menerus hingga ke level hanya 705 ribu barel per hari pada tahun 2020. 

Sampai dengan saat ini, kontribusi migas masih memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sektor migas menjadi salah satu penggerak utama perekonomian Indonesia karena memiliki efek pengganda (multiplier) cukup signifikan di dalam sistem perekonomian Indonesia. Di dalam APBN, jenis penerimaan negara yang bersumber dari sektor hulu migas meliputi penerimaan pajak penghasilan migas (PPh Migas) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Migas (PNBP Migas) serta PNBP Lainnya dari Kegiatan Hulu Migas atau sering disebut Domestic Market Obligation Migas (DMO Migas). 

Dari sisi pencatatan, pencatatan penerimaan negara dari sektor migas pernah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan perubahan akun atau nomenklatur penerimaan migas. Dalam dokumen Nota Keuangan APBN tahun 1968, penerimaan sektor migas dicatat dan hanya terdiri dari dua akun saja yaitu penerimaan pajak atas perseroan minyak dan penerimaan laba bersih minyak. Perubahan nomenklatur dan pencatatan akun tersebut, seiring dengan perubahan jenis-jenis akun penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak serta mengikuti perubahan pencatatan dalam sistem akuntansi pemerintah.

Berdasarkan data realisasi APBN tahun 1991-2020, realisasi penerimaan migas tertinggi secara nominal terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar Rp319,8 triliun sedangkan realisasi terendah terjadi pada tahun 1994 sebesar Rp13,4 triliun. Pada periode tersebut, penerimaan migas meningkat rata-rata sebesar 12,0 persen dari realisasi tahun 1991 sebesar Rp15,1 triliun dan menjadi sebesar Rp103,6 triliun pada tahun 2020. Fluktuasi realisasi penerimaan migas tersebut, sangat dipengaruhi terutama oleh pergerakan harga minyak Indonesia (ICP) dan lifting migas serta nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika. 

Selanjutnya, kontribusi penerimaan minyak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 1991 sebesar 6,6 persen menjadi 0,7 persen terhadap PDB pada tahun 2020. Hal ini terutama disebabkan semakin meningkatnya PDB nominal Indonesia dan dipengaruhi realisasi penerimaan migas yang cenderung stagnan bahkan menurun seiring dengan penurunan lifting dan tren menurunnya harga minyak Indonesia. 

Di sisi lain, kontribusi penerimaan migas terhadap total pendapatan negara juga mengalami penurunan drastis, dimana kontribusinya mencapai 35,4 persen terhadap pendapatan negara pada tahun 1991 dan menjadi hanya sebesar 6,3 persen terhadap pendapatan negara pada tahun 2020. Hal ini terutama disebabkan peningkatan penerimaan perpajakan yang signifikan, dan di sisi lain, penerimaan migas cenderung stagnan bahkan menurun seiring penurunan lifting dan rendahnya harga minyak Indonesia. 

Melihat kontribusi penerimaan sektor migas yang masih cukup besar di dalam APBN dan perekonomian Indonesia, maka perlu mencermati lebih jauh faktor-faktor utama yang memengaruhi penerimaan sektor migas. Mengacu pada uraian di atas, hal ini menunjukkan setidaknya terdapat tiga variabel utama yang memengaruhi nilai ekonomi pertambangan sektor migas di dalam perekonomian Indonesia, yaitu harga minyak Indonesia atau biasanya disebut dengan Indonesia Crude Price (ICP) dan lifting minyak bumi dan gas bumi, serta skema atau model kontrak kerja sama antara Pemerintah dan Kontraktor Migas. Perubahan pada ketiga variabel tersebut akan memiliki pengaruh besar terhadap perubahan kontribusi penerimaan sektor migas di dalam APBN dan perekonomian Indonesia. 

Apabila dicermati, harga minyak dunia cenderung fluktuatif seiring dengan permintaan dan penawaran minyak mentah dunia serta kondisi geopolitik yang dapat memengaruhi kebijakan negara-negara penghasil minyak dunia. Kondisi tersebut sering menjadi penyebab sulitnya membuat proyeksi atas harga minyak Indonesia. Lifting minyak bumi dan gas bumi terus mengalami penurunan dipengaruhi semakin menurunnya cadangan minyak mentah di dalam perut bumi Indonesia, disebabkan faktor sumur migas yang menua dan belum optimalnya sumur migas baru. Selanjutnya, faktor pilihan skema atau model kontraktor kerja sama yaitu Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery atau PSC Gross Split juga turut memengaruhi kontribusi hulu migas terhadap APBN. 

Melihat berbagai faktor tersebut, upaya optimalisasi sektor hulu migas bagi kepentingan negara termasuk pendapatan negara guna mendukung APBN perlu terus dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Kebijakan sektor hulu migas yang berbasis teknologi perlu terus dilakukan dengan kerja keras untuk meningkatkan lifting migas, selain itu kinerja kontraktor kontrak kerja sama migas yang lebih efisien melalui PSC Cost Recovery maupun Gross Split diharapkan juga akan meningkatkan bagian negara dari sektor hulu migas.     

Kirim Komentar

0 Komentar