Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
Suatu hari seorang wajib pajak, sebut saja, Pak Ade, adalah seorang sarjana farmasi yang baru lulus dari pendidikan profesi Apoteker. Sebagai persiapan untuk bekerja di suatu apotek rumah sakit, Ade ingin mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Ia pun kemudian mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di dekat tempat tinggalnya.
Sesampainya di KPP Pratama, Ade pun mendaftar NPWP secara online melalui ereg.pajak.go.id dengan dibantu oleh petugas pelayanan KPP Pratama. Pada awal proses pendaftaran berjalan dengan lancar, namun ketika sampai dalam menu penghasilan, Ade memiliki beberapa pertanyaan yang mau ditanyakan kepada petugas pelayanan KPP Pratama.
“Saya bekerja di apotek rawat inap di suatu rumah sakit, kolom penghasilan mana yang harus saya isi, kemudian bagaimana hak dan kewajiban perpajakan saya mas?” tanya Ade.
Petugas KPP Pratama tersebut pun menjelaskan kepada Ade, bahwa ia dapat memilih kolom penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja. Kolom penghasilan ini dapat dipilih oleh Ade, karena ia telah terdaftar sebagai Apoteker di bagian rawat inap di rumah sakit.
Ia terhitung sebagai pegawai swasta karena ia bekerja di lembaga atau organisasi non pemerintah berdasarkan kontrak kerja yang mengatur gaji, durasi kerja, status, tugas, dan sebagainya selama pegawai bekerja di perusahaan dan telah disepakati antara pemberi kerja dan penerima kerja.
Hak Ade setelah memiliki NPWP adalah ia tidak akan dipotong PPh 21 20% lebih besar bila ia tidak memiliki NPWP. Ade juga dapat menggunakan fotokopi NPWP yang merupakan salah satu kelengkapan dokumen administratif untuk memperoleh Surat Izin Apotek sebagai Apoteker sesuai Pasal 13 (2) huruf c Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 / 2017.
Kewajiban Ade adalah membayar pajak dan melaporkan SPT Tahunan. Ade dengan status sebagai pegawai tetap akan dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang akan dipotong oleh pemberi kerja. Ade dapat meminta bukti potong 1721-A1 setiap awal tahun dari tempat ia bekerja. Bukti potong 1721-A1 tersebut sebagai kredit (pengurang) pajak yang harus dia bayar. Ade dapat melapor SPT Tahunan dengan memilih formulir 1770 S (Bila Ade memiliki penghasilan bruto sama dengan atau lebih dari Rp60 juta per tahun) atau 1770 SS (Bila Ade memiliki penghasilan bruto kurang dari Rp60 juta per tahun).
“Bagaimana kalau 2 tahun lagi saya resign, terus memilih untuk membuka usaha apotek sendiri, kolom penghasilan dan KLU mana yang harus saya isi? Bagaimana cara membayar dan lapor pajaknya? kan tidak ada lagi yang memotong?” tanya Ade kembali.
Petugas KPP pun kembali menjelaskan, kolom penghasilan yang dapat diisi oleh Ade adalah kolom kegiatan usaha dengan KLU 47722 Perdagangan Eceran Barang Farmasi di Apotek. Bila Ade di kemudian hari memutuskan resign dari tempat kerjanya dan kemudian ingin membuka usaha Apotek sendiri, Ia berhak memilih untuk membayar pajak dengan tarif 0.5 persen dikali Omzet.
Namun, untuk penggunaan tarif tersebut usaha apotek Ade harus memenuhi kriteria sesuai Peraturan Pemerintah No 23 / 2018) yang salah satunya adalah peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Bila usaha apotek Ade tidak sesuai kriteria PP 23 tersebut maka Ade dapat dikenakan pajak penghasilan sesuai pasal 17 UU PPh dengan konsekuensi tidak dapat kembali memilih tarif PP 23.
Petugas KPP juga memberikan informasi terbaru mengenai pengusaha yang termasuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Sesuai dengan pasal 17 UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, wajib pajak orang pribadi tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak (Pasal 7 ayat 2a).
Jadi, bagi orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP 23/2018) dan memiliki peredaran bruto sampai Rp 500 juta setahun tidak dikenai Pajak Penghasilan. Perubahan UU PPh pada UU HPP mulai berlaku pada tahun pajak 2022.
“Saya pernah baca kalau omzet melebihi Rp4.800.000.000? Usaha apotek kena PPN, benarkah?” tanya Ade lagi.
Petugas KPP menjelaskan, bila omzet sudah melebihi Rp4.800.000.000, maka Ade wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Bila sudah dikukuhkan, Ade wajib menyetor PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan membuat faktur pajak. Sebelum April 2022, tarif PPN masih 10% x Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak PPN adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Setelah melakukan konsultasi, Ade pun dapat memahami hak dan kewajiban perpajakan sebagai Apoteker. Ia pun dapat melanjutkan proses pendaftaran NPWP dan mendapat kartu NPWP elektronik.
Jadi, bila anda seorang Apoteker dan memiliki kisah permasalahan yang sama dengan Pak Ade namun belum memahami hak dan kewajiban perpajakan seorang Apoteker secara utuh, Anda dapat menghubungi petugas DJP di live chat pajak.go.id
Kategori: Perpajakan
0 Komentar |
---|