Stimulus Ekonomi: Ketika Waktu Jadi Kunci

18 Juni 2025, Penulis : Edri Susilo

Bulan Juni dan Juli kerap diwarnai hiruk-pikuk kebutuhan yang datang bersamaan. Libur sekolah mengundang keluarga untuk berwisata atau mudik singkat, sementara persiapan tahun ajaran baru menuntut pembelian seragam, buku, hingga pembayaran uang sekolah. Seluruh pengeluaran ini tidak dapat ditunda ataupun saling menggantikan, karena masing-masing bersifat mendesak dan wajib dipenuhi pada waktu yang sama. Akibatnya, banyak rumah tangga merasa terdesak dan mencari berbagai cara agar seluruh kebutuhan tersebut tetap dapat terpenuhi tanpa mengganggu keseimbangan keuangan keluarga.

Di tengah situasi itulah, pada 2 Juni 2025, pemerintah mengumumkan paket stimulus ekonomi senilai Rp24,44 triliun. Meskipun jumlahnya bukan yang terbesar dalam sejarah kebijakan fiskal nasional, stimulus ini terasa jauh lebih bernilai karena hadir pada waktu yang sangat tepat. Alih-alih menunggu program jangka panjang yang kerap terhambat oleh proses birokrasi, pemerintah memilih pendekatan yang lebih cepat dan langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Pemerintah memahami bahwa menjelang pertengahan tahun, beban pengeluaran rumah tangga meningkat secara serentak akibat kebutuhan libur sekolah dan persiapan tahun ajaran baru.

Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, stimulus yang diimplementasikan selama Juni–Juli 2025 mencakup berbagai bentuk insentif yang dirancang untuk menjawab kebutuhan masyarakat secara langsung. Beragam insentif tersebut meliputi diskon tiket kereta api, pesawat, dan kapal laut; potongan tarif tol; penguatan bantuan sosial berupa sembako dan uang tunai; hingga subsidi upah bagi pekerja berpenghasilan rendah, termasuk guru honorer. Semua skema ini disusun untuk menekan pengeluaran rumah tangga agar beban masyarakat berkurang di tengah lonjakan kebutuhan musiman yang tidak bisa dihindari.

Selain membantu meringankan beban keluarga, kebijakan ini juga diharapkan mampu mendorong konsumsi domestik yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini menjadi semakin relevan mengingat data menunjukkan bahwa pada triwulan pertama 2025, pertumbuhan ekonomi nasional melambat dan hanya mencapai 4,87 persen secara tahunan. Dengan demikian, kehadiran stimulus pada waktu yang tepat menjadi langkah strategis dalam menjaga stabilitas dan ritme pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tekanan global dan domestik yang masih berlangsung.

Sebagai contoh, sebuah keluarga dari Jakarta yang ingin mengajak anak-anak berlibur ke kampung halaman di Yogyakarta. Dengan adanya diskon tiket kereta api atau potongan tarif tol, biaya perjalanan dapat ditekan secara signifikan, sehingga anggaran keluarga menjadi lebih ringan. Sementara itu, keluarga yang menerima bantuan sosial berupa sembako dan uang tunai tidak perlu mengorbankan kebutuhan sekolah anak demi membiayai liburan. Bahkan, jika salah satu orang tuanya bekerja di sektor padat karya, subsidi upah dari pemerintah dapat menjadi tambahan penghasilan yang berarti, sekaligus membantu menjaga kelangsungan usaha tempat mereka bekerja.

Dengan berbagai bentuk dukungan tersebut, stimulus pemerintah tidak hanya membantu mempertahankan daya beli masyarakat, tetapi juga turut menggerakkan roda perekonomian. Ketika masyarakat tetap bisa berbelanja, aktivitas di sektor-sektor seperti perdagangan, transportasi, dan pariwisata ikut bergerak. Pelaku usaha pun terdorong untuk terus berproduksi dan membuka peluang kerja. Dampak berantai inilah yang membuat stimulus terasa bukan hanya sebagai bantuan sosial semata, tetapi juga sebagai dorongan nyata bagi perputaran ekonomi di tengah tantangan yang dihadapi masyarakat.

Kendati demikian, ada pihak yang menyebut bahwa stimulus semacam ini bersifat jangka pendek dan tidak menyelesaikan akar persoalan struktural seperti seperti rendahnya produktivitas atau ketimpangan upah hingga pemutusan hubungan kerja. Namun juga perlu dipahami, bahwa kebijakan jangka pendek kerap diperlukan sebagai jembatan agar masyarakat dapat bertahan sampai solusi jangka panjang siap diimplementasikan. Stimulus ini memberikan waktu dan ruang bagi rumah tangga untuk bertahan di saat kebutuhan datang bersamaan. Tanpa ruang bernapas, keluarga berisiko menunda konsumsi, yang justru memperlambat pertumbuhan ekonomi lebih lama lagi. Stimulus ini juga menjadi wujud nyata perhatian dan dukungan pemerintah disaat yang tepat juga penting karena dibutuhkan masyarakat.

Selain itu, stimulus ini juga memiliki dampak psikologis yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat merasa sangat diperhatian. Pemerintah dianggap mampu memahami apa yang dirasakan dan dibuthkan oleh masyarakat. Ketika masyarakat merasa diperhatikan dan diberi dukungan yang tepat, kepercayaan terhadap pemerintah akan semakin meningkat. Masyarakat menjadi lebih optimis, dan optimisme inilah yang penting dalam membentuk ekspektasi ekonomi ke depan. Karena konsumsi tidak hanya soal uang, tetapi juga soal rasa aman dan keyakinan.

Tentu saja stimulus ini bukan tanpa celah. Misalnya, wacana diskon listrik yang batal karena kebijakan tersebut memiliki proses penganggaran yang lambat. Namun justru di tengah keterbatasan inilah, pemerintah berhasil menyusun skema yang cermat dalam memadukan belanja APBN dengan kontribusi BUMN dan insentif non-fiskal lainya. Insentif ini memang dirancang untuk kebutuhan di waktu yang tepat. Apabila pelaksanaanya molor atau terlambat tentu akan berkurang tingkat efektivitasnya. Untuk itu pelaksanaan implementasi dari kebijakan ini harus menjadi perhatian utama bagi semua pihak yang terlibat.

Namun demikian, pemerintah juga perlu mengevaluasi dampak stimulus ini secara menyeluruh. Apakah benar stimulus ini berdampak positif terhadap daya beli masyarakat? Apkah insentif disalurkan tepat waktu dan dan tepat sasaran? Apakah diskon transportasi dinikmati oleh kelompok sasaran yang tepat? Jika memang hasilnya positif, skema serupa bisa diterapkan lagi pada momentum penting lain, seperti akhir tahun atau bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri. Bahkan, pemerintah bisa mempertimbangkan insentif yang lebih terarah untuk sektor-sektor strategis lainya seperti pendidikan dan kesehatan. Pemerintah juga memberikan perhatian lebih ke masyarakat kelas menangah karena menjadi penyumbang konsumsi rumah tangga terbesar dan sering dianggap yang paling terabaikan.

Stimulus ekonomi kali ini bukan sekadar bantuan tapi juga sebagai sinyal bahwa negara hadir pada saat yang paling dibutuhkan. Dalam kebijakan publik, waktu kadang lebih menentukan daripada jumlah. Pemerintah telah menunjukkan bahwa dengan pengamatan yang cermat terhadap kehidupan masyarakat, kebijakan yang tepat waktu bisa memberikan dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar angka dalam APBN. Ketika keluarga bisa mengajak anak-anak berlibur tanpa beban, saat kebutuhan sekolah bisa terpenuhi tanpa mengorbankan konsumsi, dan ketika masyarakat merasa bahwa negara berpihak pada mereka di situlah kebijakan ekonomi menemukan makna sejatinya.

 

Artikel adalah pendapat pribadi penulis dan bukan mewakili instansi tempat penulis bekerja.