Robot vs PNS: Pesimis atau Realistis?

01 Maret 2022, Penulis : Muhammad Nur

Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah kita rasakan sejak dekade terakhir. Sudah umum kita dengar berbagai istilah seperti artificial intellegence (AI), revolusi industri 4.0, Big Data, machine learning, robot, data analytics, dan bermacam-macam istilah yang seolah merupakan “bahasa planet”. Fenomena ini ibaratnya sudah merupakan hal yang tidak bisa dihindari, harus dihadapi, karena bisa jadi fenomena justru adalah sebuah tantangan dan peluang yang harus bisa dikelola dengan baik, terutama oleh para pemangku kepentingan di negeri ini. Sebuah tantangan yang perlu ditilik lebih lanjut, mengingat negeri ini seringkali menjadi sebuah sasaran manis dari produk-produk dan budaya asing. Kita seringkali hanya menjadi penonton, pengamat, dan konsumen dari produk dan budaya asing yang dengan mudah tersaji di depan kita melalui perantaraan teknologi informasi. Maka dari itu, kita terutama generasi muda yang juga seringkali dikatakan dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi bonus demografi, dapat disiapkan dari sekarang dalam menyambut dan menghadapi kemajuan teknologi informasi sehingga ketika masa itu tiba, kita tidak hanya sekedar menjadi penonton dan konsumen semata. Sudah seharusnya dengan beragam sumber daya dan kekayaan yang negeri ini miliki, dapat menjadi salah satu pemain utama dalam percaturan globalisasi. Demikian halnya dalam hal pengelolaan sumber daya manusia pemerintahan, yaitu aparatur sipil negara (ASN) atau yang biasa kita sebut PNS (Pegawai Negeri Sipil).

Belakangan, muncul wacana mengenai “kiamat PNS” (cnbcindonesia.com, 26 November 2021). Sebuah istilah atau fenomena yang relatif menggemparkan. Sekilas kita mungkin akan mengira bahwa kedepannya tidak akan ada lagi PNS di Indonesia. Atau bisa juga, PNS akan tergantikan semua oleh robot atau artificial intellegence (AI), lalu negara akan sangat menghemat pengeluaran belanja pegawai untuk membayar gaji dan tunjangan para PNS yang saat ini jumlahnya sudah mencapai lebih dari 4 juta orang (PNS pusat maupun daerah). Bayangkan, berapa milyar atau trilyun rupiah yang bisa dihemat dari hal ini? Namun apakah demikian adanya atau barangkali ada perspektif lain yang dapat kita gunakan untuk mengamati fenomena ini? Lagi-lagi, secara sekilas kita mungkin dapat mengira bahwa dalam beberapa tahun atau dekade ke depan, seluruh PNS di Indonesia akan tergantikan oleh mesin, AI, atau robot serta seluruh pelayanan publik nantinya akan berbasis teknologi informasi. Sebuah wacana yang manis namun juga bisa kontrapoduktif. Namun jika diamati lagi dengan seksama terhadap turunan dari wacana dan fenomena “kiamat PNS” ini, maka mungkin kita bisa berasumsi untuk berpikir pesimis atau justru realistis jika dilihat dari beberapa perspektif seperti kesiapan SDM, isu keamanan data dan kesiapan insfrastruktur digital, dan yang juga tidak kalah penting adalah perspektif regulasi dan juga perubahan mindset.

Kesiapan SDM

Dapat dikatakan bahwa dalam sebuah organisasi, baik swasta maupun pemerintahan, SDM adalah faktor kunci dari semua keberhasilan organisasi. SDM adalah penggerak utama dan agen perubahan. SDM jugalah yang menciptakan teknologi, AI, ML, dan sebagainya. Begitu pentingnya peran SDM dalam setiap level organisasi, lalu apakah mungkin akan menggantikan peran manusia seluruhnya? Bisa iya, bisa tidak. Kita dapat melihat bahwa di sebuah perusahaan produksi kendaraan misalnya, walaupun sebagian besar pekerjaan dapat dikerjakan oleh mesin-mesin produksi, namun tetap saja ada manusia yang diberdayakan untuk pengoperasian mesin, perakitan, quality control, dan sebagainya. Apalagi dalam pemerintahan, saat ini pelayanan publik masih dominan dikerjakan oleh manusia. Walaupun telah terjadi pergeseran atau mungkin pengurangan jumlah karyawan (atau PNS) dengan adanya modernisasi, simplifikasi, atau penggunaan IT dan aplikasi, namun SDM masih tetap dibutuhkan dalam berbagai segi dan level pekerjaan, baik dari segi teknis maupun dari segi penentuan keputusan/kebijakan dan regulasi. 

Dari sisi lain dapat pula kita amati bahwa generasi muda saat ini yang seringkali digadang-gadang akan menjadi bonus demografi dalam beberapa tahun kedepan, masih terlena dengan keasikan mereka sendiri, misalnya bermain game online. Hal ini tentu saja dapat mengikis keinginan bahwa bonus demografi ini di masa depan akan menjadi aset berharga untuk kemajuan Indonesia di dunia internasional. Sebenarnya bukanlah sebuah pesimisme ketika kita mengatakan demikian, karena dengan kondisi riil saat ini kita pasti akan dengan mudah melihat fenomena bahwa generasi muda kita masih terlalu asik dengan kesenangan duniawi mereka sendiri. Mungkin hanya sedikit dari generasi muda yang memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang produktif. Oke, mungkin akan ada yang menyanggah pernyataan ini dengan pernyataan seperti “dengan bermain game juga bisa menghasilkan uang (misal para Youtuber)”. Akan tetapi, apakah generasi muda kita hanya akan menjadi “objek”, konsumen, penonton, penikmat, dan pengamat semata? Kenapa tidak misalnya justru merekalah yang menciptakan teknologinya, merekalah yang menciptakan game-game online tersebut, merekalah yang menjadi “pemain” dari industri game tersebut? Kemudian terkait budaya asing, fenomena budaya Korea tentu semua sudah tahu. Generasi muda kita juga dengan mudahnya ikut-ikutan tren itu. Apakah kita akan terus saja menjadi objek?

Tantangan dan peluang dari perkembangan dan kemajuan teknologi informasi inilah yang harusnya terus dipikirkan oleh generasi muda kita. Perubahan yang cepat dari teknologi tentu membutuhkan juga SDM yang berkualitas dan unggul, yang peka terhadap perubahan, dan bisa berperan aktif dan menjadi agen dalam perubahan tersebut. Jika visi misi para pimpinan kita adalah untuk berjaya dalam pentas dunia di tahun 2045 misalnya, lalu kontribusi apa yang bisa generasi muda berikan dan rancang dari sekarang. Jangan lagi kita hanya menjadi objek, penonton, dan konsumen dari globalisasi. Kitalah yang seharusnya menjadi pemain. Negeri ini tidak pernah kekurangan orang cerdas dan pintar. Begitu pula dengan dukungan sumber daya yang ada, namun bisa apa kita dengan aset yang kita miliki tersebut?

Keamanan Data dan Infrastruktur Digital

Beberapa bulan lalu kita dihebohkan dengan berita mengenai kebocoran data e-ktp di Indonesia (cnbcindonesia.com, 20 Mei 2021). Dalam artikel dikatakan bahwa ada dugaan 279 juta data penduduk Indonesia bocordan dijual di forum hacker. Miris tentunya jika mengingat bahwa data-data pribadi pengguna di internet adalah sebuah data penting yang seharusnya dilindungi. Apalagi jika yang bocor datanya sangat banyak dan kemungkinan diakses dari situs data center milik pemerintah. Sebuah hal yang mengerikan, bukan? Bukankah seharusnya data center pemerintah adalah merupakan salah satu area teraman untuk perlindungan data? Fenomena ini dapat pula diperparah dengan masih maraknya modus penipuan yang menggunakan data nomor handphone (SMS spam pinjaman online, modus menjadi pemenang hadiah undian, dan lain-lain). Bahkan belakangan juga kasus pinjaman online ilegal cukup menyita perhatian publik.

Dari fenomena-fenomena di atas, kita dapat mengatakan bahwa fenomena kebocoran data pengguna tersebut menunjukkan bahwa sistem keamanan data dan infrastruktur digital di negeri ini kemungkinan masih relatif kurang memadai. Lalu, bagaimana cara memperbaiki ini semua? Tentu kembali lagi kepada kemauan semua pihak terkait untuk secara serius menangani sumber kebocoran tersebut. Kecanggihan para peretas/hacker untuk mengakses situs-situs milik pemerintah tentu harus diimbangi pula oleh kecanggihan para programmer di dalam institusi pemerintah itu sendiri. Dalam dunia teknologi informasi yang berkembang sangat pesat ini, tentu setiap organisasi pemerintah memiliki basis data dan data center masing-masing. Pengamanan data center menjadi salah satu aspek terpenting, tidak hanya pengamanan secara fisik namun juga secara nonfisik (firewall dan jaringan). Untuk bisa mengikuti daya pikir para hacker, maka tentu para programmer ini harus pula dibekali dengan ilmu tentang dunia peretasan. Maka, ini masih pula berkaitan dengan perspektif SDM sebagaimana dibahas sebelumnya.

Selanjutnya, dari sisi kesiapan pemerintah untuk membuat dan menyiapkan data center dan infrastruktur digital kita dapat melihat bahwa kita masih relatif tertinggal dengan negara lain. Teknologi jaringan 5G misalnya, baru-baru ini saja kita mulai ramai diperbincangkan. Belum lagi jika melihat fakta bahwa katanya kecepatan internet di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia (idxchannel.com, 26 Oktober 2021). Oke, kita dapat berargumen bahwa dengan negara kepulauan yang sangat luas ini maka sulit untuk menyiapkan infrastruktur digital yang terbaik, belum lagi dengan kondisi geografis kita yang rawan bencana, dan sederetan rasionalisasi lainnya. 

Pengembangan teknologi tentu saja membutuhkan biaya yang sangat besar, baik dari sisi kesiapan sumber daya (termasuk manusia), teknologinya itu sendiri, dukungan jaringan dan infrastruktur, keamanan data, dan lain-lain. Seharusnya dan sebaiknya, itu bukanlah menjadi sebuah alasan. Tapi pada konteks ini adalah, apa yang sudah, sedang, dan akan kita siapkan untuk menghadapi kemajuan dan perkembangan teknologi informasi di masa depan sehingga kita bisa menjadi pemain disana. Sekecil apapun, jika direncanakan dengan baik maka perkembangan setahap demi setahap yang kita rancang dan kerjakan dapat menjadi faktor penentu ketika nanti kita berada pada puncak visi misi kita di tahun 2045.

Regulasi dan Mindset

Selanjutnya dari perspektif lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah mengenai kebijakan dan regulasi yang agile. Misalkan saja regulasi terkait pengembangan kompetensi dan skill PNS, skema reward finansial (gaji, tunjangan, pensiun, program kesejahteraan PNS, dan sebagainya). Semua ini tentu bukanlah hal yang sederhana. Di lain sisi, kita dapat mengatakan bahwa beban anggaran untuk belanja pegawai (gaji dan tunjangan PNS) begitu besar porsinya dalam APBN, belum termasuk untuk pembayaran uang pensiun PNS. Berbagai kebijakan dan skema sudah dirancang, baik untuk skema penggajian dan tunjangan maupun untuk pembayaran uang pensiun. Namun, proses menuju skema yang ideal sepertinya masih jauh panggang dari api. Ketika ada wacana dan rancangan kebijakan pembayaran uang pensiun secara penuh di awal (tidak dicicil bulanan seperti sekarang), tetap saja hal ini belum dapat diputuskan. Ada resistensi seperti misalnya jika langsung diberikan semua dengan jumlah mungkin berkisar ratusan juta, bisa jadi sang PNS tidak siap, belum ada usaha yang dirintis, belum ada niat untuk berwirausaha, uang akan habis dengan cepat dan mudah, dan lain-lain. Sementara jika tetap menggunakan skema saat ini, maka PNS dapat lebih mudah menata hidupnya pasca bekerja karena tetap memperoleh penghasilan bulanan (walaupun dengan jumlah yang tidak sebesar ketika masih aktif bekerja).

Kita sama-sama mengetahui bahwa proses penyusunan regulasi seringkali memakan waktu yang lama dan energi yang relatif besar. Namun ketika regulasi tersebut telah ditetapkan, tiba-tiba saja dunia sudah berubah di saat itu. kita dapat mengambil contoh misalnya mengenai kebijakan kehadiran pegawai. Sebelum masa pandemi datang dan menghantam dunia, masih saja ada yang meragukan bahwa semua pekerjaan sebenarnya dapat dikerjakan dari rumah (work from home). Lalu ketika itu datang, maka kita sangat gagap di awal masa pandemi. Perubahan yang cepat ini kemudian memaksa kita untuk menerapkan skema bekerja WFH. Lalu kehadiran teknologi meeting dan teleconference dengan hadirnya aplikasi Zoom yang sangat populer juga telah mengubah pola kerja para pegawai. Berbagai perubahan yang masif dalam perkembangan teknologi informasi ini tentu mengharuskan pemerintah juga bisa menyiapkan perangkat peraturan dan regulasi yang agile (lincah) mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Mengingat bahwa dalam proses pembuatan regulasi seringkali memakan anggaran, sumber daya, waktu lama, dan energi publik yang besar, maka efisiensi dalam proses pembuatan regulasi itu dapat dipangkas apabila regulasi yang disiapkan adalah regulasi yang agile. Bukan berarti dalam regulasi itu terdapat pasal-pasal karet, namun lebih kepada ketika kita menyusun regulasi sebaiknya melibatkan aspek teknologi informasi di dalamnya. Contoh lain, kita tidak akan dengan begitu mudahnya “memecat PNS”, karena sesuai regulasi sudah ada ketentuan-ketentuan mengenai pemecatan PNS. Memang, regulasi bisa saja diubah, akan tetapi apakah nantinya tidak akan ada resistensi dan penolakan dari para PNS itu sendiri? Tentu hal ini juga harus dipikirkan masak-masak. 

Dukungan pimpinan dan generasi pendahulu terhadap apa-apa yang dikerjakan para pemuda tentu juga menjadi aspek yang penting, salah satunya melalui regulasi. Jangan sampai ketika misal ada sekelompok pemuda yang sedang berkreasi dan berinovasi, kemudian dihambat oleh regulasi sehingga produk hasil inovasinya justru layu sebelum berkembang. Dalam bahasan ini kita mungkin dapat mengambil contoh ketika hangat-hangatnya pengembangan mobil listrik beberapa tahun lalu justru seolah mendapat hambatan dari regulasi. Padahal beberapa tahun kemudian, justru teknologi mobil listrik sedang panas-panasnya menjadi persaingan industri para produsen otomotif dunia. Apakah kita lalu hanya kembali akan berpangku tangan, menjadi penonton, konsumen, dan penikmat saja, sementara sumber daya (misal nikel untuk baterai mobil listrik) sangat melimpah di negeri ini? Pesimis atau realistis? Mari kita pikirkan bersama.

Dari berbagai hal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mindset kita juga harus diubah. Kita dapat berpikir pesimis, atau justru realistis bahwa kondisi negeri ini demikian adanya. Namun tidak pula berarti dengan berpikir realistis justru kita menjadi pasrah. Seharusnya dengan berpikir realistis dan menyadari kondisi namun juga potensi-potensi yang ada, maka kita dapat membuat dan menyiapkan berbagai rancangan (baik regulasi, program, kebijakan, sistem, perangkat dan teknologi, infrastruktur digital, termasuk pengembangan talenta SDM, dan sebagainya) sehingga kita siap menjadi pemain di percaturan dunia di masa depan. Semoga.

 

Diclaimer: tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.

Kirim Komentar

0 Komentar