Reformasi PPN, Optimalisasi PEN dan Keberlanjutan Fiskal

17 Februari 2022, Penulis : Desak Putu Sri Shania Aprilia

Salah satu perubahan besar dalam perjalanan sejarah reformasi perpajakan ditandai dengan adanya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Presiden Joko Widodo resmi mengundangkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 pada tanggal 29 Oktober 2021.

UU HPP terdiri atas sembilan bab yang memiliki enam ruang lingkup peraturan, salah satunya yaitu perubahan pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). UU HPP mereformasi sistem PPN sebagai wujud optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertimbangkan sistem perpajakan yang berkeadilan.

Pertimbangan Reformasi PPN dalam UU HPP

Reformasi PPN dalam UU HPP didasari atas beberapa pertimbangan. Penyesuaian aturan PPN pada UU HPP salah satunya mempertimbangkan peluang pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Melihat perubahan struktur demografi Indonesia membuka lebar peluang Indonesia untuk mewujudkan visi Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045.  Terbukanya peluang ini ditandai dengan dominasi kelompok usia produktif di Indonesia.

Pada tahun 2045, Indonesia diperkirakan akan didominasi usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 208 juta jiwa pada tahun 2045 (Badan Pusat Statistik, 2018). Bonus demografi selaras dengan meningkatnya konsumsi masyarakat sehingga dapat meningkatkan peluang pertumbuhan ekonomi Indonesia.  

Konsumsi merupakan basis yang cukup kuat dan stabil sebagai sumber penerimaan negara melalui pajak. Pendapatan negara yang kuat dan stabil ke depannya dapat menciptakan pembiayaaan Indonesia yang lebih sehat dan mandiri sehingga dapat menurunkan pembiayaan yang berasal dari utang.

C-Efficiency PPN Indonesia 63,58% artinya Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Hal ini karena masih terdapat barang dan jasa yang belum masuk ke dalam sistem. Selain itu juga disebabkan masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.

Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat seperti kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya diberikan fasilitas pembebasan PPN.  Untuk memperluas basis pemajakan maka non Barang Kena Pajak (BKP) dan non Jasa Kena Pajak (JKP) menjadi BKP dan JKP serta pengurangan beberapa kriteria fasilitas yang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Sebagaimana diketahui, fasilitas PPN mendominasi belanja perpajakan (tax expenditure) setiap tahunnya. Pada tahun 2020 belanja perpajakan PPN mencapai Rp140,4 triliun atau sekitar 60% dari total belanja perpajakan sebesar Rp234,9 triliun. Dimana sebesar Rp40,6 triliun berasal dari kebijakan pengecualian pemungutan PPN oleh pengusaha kecil (threshold PPN) (Kemenkeu, 2021).

Apabila pendapatan negara meningkat, maka dapat memperbesar ruang fiskal untuk mendanai kebutuhan belanja negara yang produktif. Penerimaan negara yang memadai dapat digunakan untuk mendukung perekonomian masyarakat, memberikan jasa kesehatan, jasa perlindungan sosial, dan jasa lainnya yang dibutuhkan masyarakat banyak.

Perubahan aturan PPN dalam UU HPP

Adapun perubahan aturan dan kebijakan baru PPN dalam UU HPP yaitu kenaikan tarif PPN secara bertahap, perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN, pengkreditan Pajak Masukan, pendelegasian wewenang, serta kemudahan dan kesederhanaan.

1.Kenaikan Tarif PPN Secara Bertahap

UU HPP menetapkan kenaikan tarif PPN secara bertahap yaitu sebesar 11 persen yang mulai berlaku pada 1 April 2022, kemudian naik lagi menjadi sebesar 12 persen berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini yaitu dalam rangka mengatasi dampak pandemi Covid-19 dalam bentuk vaksin, bantuan sosial, dan lain-lain.

Perubahan tarif PPN dalam UU HPP lantaran tarif PPN Indonesia saat ini masih dibawah rata-rata tarif global (15,4%), negara OECD (19%) atau negara BRICS (17%) dan masih lebih kecil dibanding beberapa negara lain di Asia. Merujuk kepada tarif PPN negara-negara lain, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4%. Sekaligus lebih rendah dari Filipina (12%), Tiongkok (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%) (sumber: Kemenkeu, 2021).

2. Perluasan Basis PPN Melalui Refocusing Pengecualian dan Fasilitas PPN

Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya, diberikan fasilitas pembebasan PPN, sehingga masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.

Pengaturan kembali barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN, meliputi makanan/minuman karena merupakan objek PDRD, uang/emas batangan/SBN, jasa keagamaan, jasa kesenian/hiburan objek PDRD, jasa perhotelan objek PDRD, jasa pemerintahan, jasa parkir objek PDRD, dan jasa boga/catering objek PDRD. Pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, serta dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

Pengaturan kembali rincian kriteria fasilitas PPN, semula terdapat 15 kriteria fasilitas PPN, menjadi 10 kriteria fasilitas PPN. Pengaturan ini dimaksudkan bahwa perluasan basis PPN dilakukan dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, asas kemanfaatan khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional, sehingga optimalisasi penerimaan negara diselenggarakan dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

3. Pengkreditan Pajak Masukan

Dalam UU HPP terdapat beberapa perbaikan dan penghapusan ketentuan pada Pasal 9. Apabila dalam suatu masa pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan penyerahan yang terutang pajak dan pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahannya dapat dikreditkan.  Dalam hal bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan merupakan pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahan tersebut.

4. Pendelegasian Wewenang

Penambahan Pasal 16G yang berisi ketentuan lebih lanjut mengenai nilai lain, kriteria belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP, penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak, PKP berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, pedoman pengkreditan pajak masukan, penentuan sektor usaha tertentu, pembayaran kembali pajak masukan, pengkreditan pajak masukan,  jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertentu, jenis BKP tertentu, jenis JKP tertentu, dan besaran PPN nilai yang dipungut dan disetor, ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

5. Kemudahan dan Kesederhanaan

UU HPP mengatur pengenaan PPN final atas jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu diterapkan tarif PPN final, misalnya 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha, yang nantinya akan diatur dengan PMK. Dalam penjelasan Pasal 9A ayat (1) disebutkan bahwa tarif PPN final diterapkan guna memberikan kemudahan administrasi dalam pemungutan dan penyetoran PPN oleh PKP, serta meningkatkan rasa keadilan di tengah masyarakat.

UU HPP disusun dengan pertimbangan untuk mendukung percepatan pemulihan perekonomian dan mengoptimalisasi pertumbuhan perekonomian nasional yang berkelanjutan. Penetapan UU HPP juga merupakan bentuk menjalankan komitmen reformasi fiskal dan dapat menjadi batu loncatan reformasi perpajakan untuk mendukung fiskal yang berkelanjutan untuk Indonesia yang lebih maju.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.

Kategori: Perpajakan

Kirim Komentar

0 Komentar