Perkembangan teknologi digital telah berhasil mengaburkan batas antar yuridiksi. Dengan perkembangannya, para pelaku bisnis dapat melakukan transaksi lintas batas negara dengan lebih mudah. Peningkatan perdagangan internasional tidak diragukan lagi dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara yang berpartisipasi di dalamnya. Namun, dalam praktiknya, transaksi lintas yurisdiksi menciptakan interaksi peraturan perpajakan antar negara yang menciptakan inefisiensi karena perbedaan pengaturan perpajakan di negara satu dan lainnya. Perbedaan ini normal terjadi sebagai akibat dari kedaulatan masing-masing negara dalam menciptakan aturan domestiknya. Ketidakpaduan aturan perpajakan ini tidak hanya menimbulkan resiko pengenaan pajak berganda (double taxation), tetapi juga resiko tidak dikenakan pajak di negara manapun (double non-taxation). Resiko double non-taxation inilah yang berupaya dieksploitasi oleh para penghindar pajak untuk meraih posisi terbaik dari kewajiban fiskalnya, yaitu dengan memodifikasi transaksi dan/atau entitasnya sehingga menghasilkan tidak adanya pengenaan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang sangat rendah.
Melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan, negara-negara G20 bekerja sama dengan OECD memperkenalkan 15 rencana aksi yang ditujukan untuk menyelaraskan ketidakpaduan peraturan perpajakan antar negara untuk mengurangi celah penghindaran pajak internasional. BEPS action plan 2, pada khususnya ditujukan untuk menetralkan perlakuan perpajakan akibat dari perbedaan pandangan antar negara dalam melihat suatu entitas, instrumen, atau transaksi, yang disebut dengan Neutralizing the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements. OECD sendiri tidak memberikan definisi khusus untuk hybrid mismatch arrangements, tetapi pada dasarnya hybrid mismatch arrangements memiliki satu atau lebih parameter berikut:
- Hybrid entities, yaitu entitas yang dari sisi perpajakan diperlakukan sebagai entitas transparan di negara satu, sekaligus entitas non-transparan di negara lainnya. Suatu entitas disebut sebagai entitas transparan apabila entitas tersebut bukanlah pemilik dari suatu penghasilan yang diperoleh oleh entitas, sehingga subjek pajak atas penghasilan tersebut adalah pemilik modal yang menanamkan modalnya melalui entitas transparan. Sebaliknya, yang dimaksud sebagai entitas non-transparan adalah apabila entitas tersebut diperlakukan sebagai subjek pajak atas penghasilan yang diperolehnya.
- Hybrid instrument, yaitu instrumen keuangan yang diperlakukan berbeda oleh negara-negara yang terlibat. Sebagai contoh suatu instrumen diperlakukan sebagai utang di suatu negara, tetapi di negara lain diperlakukan sebagai modal.
- Hybrid transfer, yaitu perbedaan penafsiran pengalihan harta dimana di satu negara dianggap sebagai pengalihan harta, tetapi tidak di negara lainnya.
- Dual resident entities, yaitu suatu entitas yang menjadi subjek pajak di dua negara yang berbeda.
Ancaman nyata praktik penghindaran pajak melalui bentuk hybrid mismatch arrangements di Indonesia salah satunya bersumber dari perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia-Belanda. Dalam P3B tersebut, diatur bahwa dividen yang diterima oleh resident Belanda yang bersumber dari Indonesia atas kepemilikan substansial (subtantial holdings) dikenakan withholding tax sebesar 5%. Tarif ini termasuk dalam tarif yang paling rendah dibandingkan dengan P3B lainnya yang dimiliki oleh Indonesia. Sehingga tidak heran, bila Netherlands Bureau for Economic Policy Analysis mengungkapkan bahwa P3B Indonesia-Belanda banyak dimanfaatkan perusahaan multinasional dalam skema penghindaran pajaknya.
Lebih lanjut, Belanda memiliki pengaturan domestik mengenai suatu bentuk entitas mutual fund yang dikategorikan sebagai entitas transparan berdasarkan perturan domestiknya. Mutual fund ini disebut dengan Closed Fonds voor Gemene Rekening (Closed - FGR) atau Closed Fund for Mutual Account (CFMA). Berdasarkan peraturan domestik Belanda, CFMA bukanlah suatu entitas korporasi, sehingga CFMA merupakan suatu entitas transparan yang tidak dikenakan pajak penghasilan di Belanda. Keberadaan CFMA ini menimbulkan resiko penggerusan basis pajak Indonesia.
Melalui CFMA Belanda, pemilik modal yang tidak berasal dari Belanda dapat membuat skema penghindaran pajak dengan memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda untuk mendapatkan tarif pajak yang rendah. Pemilik modal yang berasal dari negara yang tidak memiliki P3B dengan Indonesia, atau memiliki P3B dengan tarif yang lebih tinggi, dapat berinvestasi di Indonesia melalui CFMA Belanda. Selanjutnya, karena CFMA merupakan entitas transparan di Belanda, pemerintah Belanda tidak lagi memajaki penghasilan yang diterima oleh CFMA. Pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh pemilik modal akan dipajaki di level korporasi, sehingga apabila pemilik modal berasal dari luar Belanda, pemerintah Belanda menyerahkan pemajakan atas penghasilan tersebut di negara asal pemilik modal. Akan tetapi, keberadaan CFMA menjadikan modal yang diinvestasikan di Indonesia seolah-olah seluruhnya berasal dari Belanda, sehingga pemilik modal berhak memanfaatkan P3B Indonesia-Belanda. Apabila tidak jeli, pemerintah Indonesia dapat tanpa sengaja memberikan manfaat P3B Indonesia-Belanda kepada pemilik modal yang pada hakikatnya tidak berhak atas manfaat P3B Indonesia-Belanda.
Kategori: Perpajakan
0 Komentar |
---|