BMKG mengabarkan prediksi La Nina yang melanda Indonesia pada akhir tahun ini. Fenomena ini ditandai dengan meningkatnya curah hujan di wilayah Indonesia secara umum. Kondisi tersebut meningkatkan risiko ketidakpastian usaha di sektor pertanian, khususnya usaha tani padi. Untungnya, Pemerintah telah menjalankan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) sejak tahun 2015. Asuransi Usaha Tani Padi diluncurkan untuk memberikan perlindungan terhadap risiko banjir, kekeringan, dan serangan OPT. Jika terjadi gagal panen, maka petani akan segera mendapatkan modal kerja dari klaim asuransi untuk membiayai pertanaman berikutnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Asuransi Pertanian adalah perjanjian antara Petani dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Tani. Dalam AUTP, harga pertanggungan ditetapkan sebesar Rp6.000.000 per hektar per musim tanam. Harga pertanggungan ini kemudian menjadi dasar perhitungan premi dan batas maksimum ganti rugi. Dengan basis tersebut, ditetapkan Premi Asuransi Usaha Tani Padi sebesar 3% atau senilai Rp 180.000/hektar/musim tanam. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian memberikan bantuan premi sebesar 80% atau senilai Rp144.000/hektar/musim tanam. Sisanya, senilai Rp36.000 berasal dari kantong petani. Petani penerima manfaat program ini adalah petani dengan lahan maksimal dua hektar.
Diimplementasikan sejak tahun 2015, AUTP menargetkan cakupan asuransi satu juta hektar lahan sawah tiap tahunnya. Di tahun awal, AUTP mencakup sebanyak 233.555,36 hektar sawah atau 23,36 persen dari target. Realisasi cakupan terus meningkat hingga mencapai 97,12% pada 2019 dan 100% pada 2020. Hasil yang memuaskan tersebut masih menyisakan ruang untuk penyempurnaan kebijakan AUTP, termasuk dari sisi perencanaan dan penganggarannya. Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, AUTP merupakan salah satu upaya dalam strategi perlindungan petani Indonesia yang perlu untuk dijaga keberlanjutannya. Keberlanjutan itu dapat dicapai hanya dengan kolaborasi Pemerintah Pusat dan Daerah. Ruang fiskal Pemerintah pusat yang terbatas perlu disokong APBD untuk pencapaian tujuan AUTP. Pemerintah daerah dengan ruang fiskal yang cukup dapat berpartisipasi dengan mengcover premi asuransi swadaya petani, seperti yang dilakukan Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Karawang. Sinergi APBN dan APBD dapat meningkatkan target cakupan AUTP yang dalam enam tahun terakhir dipatok pada angka 1 juta hektar.
Upaya peningkatan target cakupan AUTP juga terkendala minat petani untuk mengikuti asuransi yang masih rendah. Informasi dan pengetahuan petani mengenai AUTP, mulai dari manfaat, tata cara pendaftaran, hingga proses klaim, sangat terbatas. Sementara itu, petani dengan kondisi lahan yang jarang mengalami kerusakan/bencana tidak mau mengikuti asuransi ini. Kondisi ini perlu diikuti dengan edukasi, promosi, dan advokasi yang dilakukan secara sistematis. Usaha ini tentunya membutuhkan pembiayaan yang memadai. Sekali lagi, pembagian peran APBD dan APBN menjadi kunci keberhasilan program AUTP. Nantinya, output hasil penganggaran di APBD dapat disinkronkan dengan Klasifikasi Rincian Output (KRO) atau Rincian Output (RO) Belanja K/L, sehingga alokasi anggaran dan target/capaian outputnya dapat diagregasi secara nasional.
Dalam pedoman umum pelaksanaan AUTP, Menteri Pertanian terang menyebutkan intervensi Pemerintah dalam program AUTP sebagai bantuan. Sebagai bantuan premi, penuangan bantuan dimaksud dalam Rencana Kerja dan Anggaran perlu diikuti dengan pemilihan KRO, RO, dan mata anggaran yang sesuai. Benchmarking dapat dilakukan dengan program sejenis, misalnya dengan penganggaran PBI JKN pada Kementerian Kesehatan dan bantuan premi asuransi nelayan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kedua program tersebut menggunakan KRO BEA Bantuan Masyarakat, meliputi bantuan berupa uang yang diberikan oleh Pemerintah kepada entitas individu perseorangan. Mengingat sifatnya sebagai bantuan pemerintah, pedoman umum yang dibuat juga telah merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.05/2015 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah pada Kementerian/Lembaga. Untuk itu, mata anggaran yang digunakan juga merupakan belanja bantuan pemerintah (526xxx). Ketepatan penggunaan akun akan menjamin keberlangsungan program dari kebijakan refocusing/pemotongan anggaran. Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara melakukan exercise dalam rangka austerity policy dengan pendekatan pemotongan pada belanja barang yang dianggap kurang optimal daya ungkitnya bagi perekonomian.
Sebagai alat ukur untuk menilai capaian keberhasilan AUTP, jumlah hektar sawah yang dicakup AUTP dipilih menjadi indikator RO AUTP. Kementerian Pertanian selaku eksekutor AUTP telah menyusun nomenklatur yang mencerminkan capaian RO. Penyusunan indikator kinerja sangat terkait dengan penggunaan KRO yang tepat. Pada program serupa yang menjadi benchmark, digunakan KRO BEA Bantuan Masyarakat dengan satuan orang. Sementara itu, satuan dalam AUTP adalah hektar. Dalam Redesain Sistem Perencanaan dan Penganggaran (RSPP), dijabarkan pengukuran kinerja berbasis hierarki yaitu KRO dan RO dengan tujuan mewujudkan implementasi kebijakan money follows program; memperkuat penerapan anggaran berbasis kinerja; meningkatkan konvergensi program dan kegiatan antar-K/L dengan penerapan Tematik, Holistik, Integratif, dan Spasial (THIS); serta mendorong K/L menerapkan value for money dalam proses perencanaan dan penganggaran serta proses pelaksanaanya. Pedoman RSPP yang ada mencantumkan penyebutan satuan KRO dan satuan RO adalah harus identik. Kiranya perlu dipertimbangkan penyesuaian RSPP dengan memasukkan penerapan prinsip generalis (umum) dan spesialis (khusus) dalam merumuskan penyebutan hierarki satuan KRO dan satuan RO pada K/L untuk mengapresiasi karakteristik tugas dan fungsi yang diampu K/L.
Kategori: Anggaran
0 Komentar |
---|