Berdasarkan data yang diperoleh dari The World Risk Report 2023, Indonesia mendapatkan nilai risiko bencana sebesar 43,50. Perolehan tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat ke-2 teratas dari 193 negara yang memiliki risiko bencana di seluruh dunia, 1 tingkat di bawah Filipina. Lebih lanjut, laporan yang dipublikasikan oleh Bündnis Entwicklung Hilft tersebut mengungkapkan bahwa 7 dari 10 negara dengan risiko bencana paling tinggi juga merupakan 10 besar negara dengan tingkat exposure bencana tertinggi (Indonesia peringkat ke-5 teratas, dengan nilai 39,89). Hal ini tentu saja dapat memperparah keadaan yang mungkin terjadi pada saat bencana menghantam negara-negara tersebut, khususnya Indonesia. (sumber : https://weltrisikobericht.de/wp-content/uploads/2024/01/WorldRiskReport_2023_english_online.pdf).
Di Indonesia sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) mencatat sebanyak 5.400 kejadian bencana alam di wilayah Indonesia sepanjang tahun 2023. Sebaran kejadian bencana alam tersebut terbentang dari Provinsi Aceh sampai dengan Provinsi Papua Selatan. Kejadian bencana alam didominasi oleh kebakaran hutan dan lahan, bencana cuaca ekstrem, dan banjir. Bencana alam tersebut menimbulkan korban meninggal dunia sebanyak 271 orang, 33 orang berstatus hilang, 5.795 orang mengalami luka-luka, serta sejumlah 8.491.288 orang terdampak dan mengungsi. Lebih lanjut, sebanyak 47.214 rumah, 1.291 fasilitas publik, 258 jembatan, dan 135 kantor mengalami kerusakan. (sumber: https://bnpb.go.id/infografis/infografis-bencana-tahun-2023).
Data potensi risiko dan kejadian bencana di Indonesia yang disampaikan oleh The World Risk Report 2023 maupun laporan kejadian bencana pada tahun 2023 oleh BNPB dimaksud seharusnya dapat menjadi pemicu untuk dijadikan motivasi tersendiri bagi Pemerintah Indonesia.
Pemerintah perlu melakukan aksi nyata untuk melaksanakan penanggulangan bencana, baik pada tahap prabencana, tanggap darurat bencana, maupun pascabencana. Meskipun kegiatan penanggulangan bencana di Indonesia telah memiliki dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007), namun kita masih memiliki serangkaian pekerjaan rumah untuk memperkuat kapasitas pendanaan dalam rangka penanggulangan bencana di Nusantara.
Harapan Baru Pendanaan Penanggulangan Bencana di Indonesia
Sebenarnya, pada tanggal 13 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana (Perpres 75/2021). Kehadiran peraturan ini diharapkan dapat menjamin ketersediaan Dana Pooling Fund Bencana (Dana PFB) yang memadai, tepat waktu, tepat sasaran, terencana, berkelanjutan, melindungi keuangan negara, dan memperkuat kapasitas pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pendanaan penanggulangan bencana, serta dalam rangka melakukan inovasi pengelolaan dana untuk pendanaan penanggulangan bencana.
Perpres tersebut juga dapat dimaknai sebagai bentuk penajaman komitmen pemerintah dalam pendanaan penanggulangan bencana, yang tercermin dari pembentukan Dana PFB yang mengintegrasikan pendanaan penanggulangan bencana secara nasional. Selama ini, pendanaan penanggulangan bencana dilakukan secara parsial antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di level pemerintah pusat, dana penanggulangan bencana dialokasikan pada Bagian Anggaran (BA) BNPB maupun BA Bendahara Umum Negara (BUN) Belanja Lain-Lain (BA 999.08). Sedangkan di level pemerintah daerah, masing-masing provinsi/kabupaten/kota mengalokasikan dana penanggulangan bencana pada APBD. Oleh karena itu, konsep Dana PFB yang diusung oleh Perpres 75/2021 merupakan suatu terobosan dan harapan baru bagi pendanaan penanggulangan bencana terintegrasi di Indonesia.
Dalam jangka pendek, Dana PFB hanya ditujukan sebatas untuk mendukung dan melengkapi ketersediaan dana penanggulangan bencana yang setiap tahun dialokasikan dalam APBN, baik berupa dana yang dikelola oleh BNPB, maupun dana penanggulangan bencana yang tersimpan dalam Dana Cadangan Bencana.
Sementara itu, dalam jangka panjang, Dana PFB diharapkan menjadi satu-satunya sumber pendanaan penanggulangan bencana terintegrasi di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Untuk mendukung pembentukan Dana PFB, pada tanggal 21 Desember 2020, The World Bank Group telah memberikan pinjaman dan hibah untuk proyek Indonesia Disaster Risk Finance and Insurance. Pinjaman tersebut berupa Investment Project Financing dengan Performance Based Conditions sebesar USD500 juta, dan hibah pendamping dari Global Risk Financing Facility-World Bank sebesar USD10 juta. (sumber: https://documents1.worldbank.org/curated/en/316601611543685552/pdf/Indonesia-Disaster-Risk-Finance-and-Insurance-Project.pdf).
4 (Empat) Pilar Pengelolaan Dana Pooling Fund Bencana
Pada dasarnya, cikal bakal pembentukan Dana PFB telah dimulai sejak Tahun Anggaran 2019, yang ditandai dengan pengalokasian dana sebesar Rp1 Triliun dalam APBN. Sampai dengan saat ini, Dana PFB yang dihimpun dari APBN telah berjumlah Rp7,3 Triliun. Dana PFB tersebut dikelola oleh Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BLU BPDLH) sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh Menteri Keuangan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 407/KMK.010/2021. Dalan melaksanakan pengelolaan Dana PFB, BLU BPDLH akan melaksanakan 4 (empat) pilar penugasan yang meliputi, (i) pengumpulan dana; (ii) pengembangan dana; (iii) penyaluran dana; dan (iv) penugasan lain sesuai arahan Menteri Keuangan.
Untuk kegiatan pengumpulan dana, Perpres 75/2021 telah menjabarkan bahwa Dana PFB akan bersumber dari APBN, APBD, dan sumber dana lainnya yang sah. Sumber APBN tersebut dapat berupa alokasi rupiah murni setiap tahun seperti yang telah dilaksanakan selama ini. Dana PFB yang bersumber dari APBD akan berasal dari partisipasi pemerintah daerah melalui mekanisme belanja hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan sumber lain yang sah dapat berupa penerimaan pembayaran klaim asuransi, hasil investasi dari dana yang dikelola, penerimaan hibah, hasil kerja sama, maupun dana perwalian yang diterima oleh BLU BPDLH baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Selanjutnya, terhadap dana yang telah terkumpul dari berbagai sumber, BLU BPDLH melakukan pengembangan Dana PFB ke dalam berbagai instrumen investasi, baik dalam bentuk instrumen investasi jangka pendek maupun instrumen investasi jangka Panjang. Sebagai satuan kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU, dalam mengembangkan Dana PFB, BLU BPDLH akan mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.05/2022, maupun peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pengelolaan investasi oleh satuan kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU. Hasil pengembangan Dana PFB inilah yang akan menjadi fresh money untuk digunakan sebagai sumber pendanaan penanggulangan bencana.
BLU BPDLH akan menyalurkan fresh money tersebut kepada kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, kelompok masyarakat, maupun penyedia barang atau jasa. Penyaluran tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan pada tahap prabencana, tahap darurat bencana, tahap pascabencana terutama kegiatan pemulihan, dan penyaluran untuk pendanaan transfer risiko. Penyaluran hasil pengembangan Dana PFB pada tahap prabencana dan pascabencana dilakukan secara proposal based.
Nantinya, BNPB akan melakukan penelaahan, verifikasi, dan evaluasi terhadap proporsal pendanaan yang diajukan serta berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Selain itu, BNPB juga akan meminta pertimbangan dari Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri. Berbagai proses tersebut akan menghasilkan rekomendasi pendanaan yang akan disampaikan oleh Kepala BNPB kepada Menteri Keuangan guna dapat ditindaklanjuti oleh BLU BPDLH berupa penyaluran hasil pengembangan Dana PFB.
Pada tahap darurat bencana, Perpres 75/2021 mengamanatkan agar penyaluran hasil pengembangan Dana PFB dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada saat ini, telah terdapat peraturan yang mengatur mengenai mekanisme pembayaran dana dalam rangka penanggulangan bencana, yaitu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.05/2013 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Penanggulangan Bencana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2019 (PMK 105/2013).
Salah satu perbedaan antara penanggulangan bencana berdasarkan Perpres 75/2021 dan PMK 105/2013 adalah sumber dana yang digunakan. Pendanaan penanggulangan bencana berdasarkan Perpres 75/2021 bersumber dari Dana PFB yang dikelola oleh BLU BPDLH (baik berupa hasil pengembangan Dana PFB maupun dana utama PFB, yang kemudian ditambahkan dalam alokasi anggaran Dana Cadangan Bencana dalam BA BUN Belanja Lainnya), sedangkan pendanaan penanggulangan bencana berdasarkan PMK 105/2013 bersumber dari APBN, yaitu yang dialokasikan pada BA BNPB dan alokasi anggaran Dana Cadangan Bencana pada BA BUN Belanja Lain-Lain (999.08).
Salah satu selling point Perpres 75/2021 adalah adanya konsep baru berupa transfer risiko yang dilakukan dengan mekanisme asuransi, baik asuransi syariah maupun asuransi konvensional. Ke depannya, objek transfer risiko tersebut berupa Barang Milik Negara, Barang Milik Daerah, maupun objek asuransi lainnya yang berpotensi terdampak ketika terjadi bencana. BLU BPDLH akan melakukan penyaluran hasil pengembangan Dana PFB sebagai bentuk mpembayaran premi asuransi, sedangkan yang menjadi pemegang polis asuransi adalah BLU BPDLH maupun kementerian negara/Lembaga atau pemerintah daerah. Apabila terjadi klaim asuransi, nantinya pembayaran klaim akan dilakukan kepada rekening BLU BPDLH yang kemudian disalurkan kepada penerima dana untuk mendanai perbaikan, pembangunan kembali, dan/atau penggantian atas objek transfer risiko tersebut.
Sebagai satuan kerja BLU pengelola dana yang mengelola berbagai jenis dana (multi fund manager), BLU BPDLH juga dimandatkan oleh Perpres 75/2021 untuk dapat melaksanakan penugasan lain sesuai dengan arahan Menteri Keuangan. Ketentuan ini merupakan ketentuan antisipatif yang bersifat forecasting. Mungkin saja para penyusun Perpres 75/2021 belum terpikirkan hal apa yang perlu dilakukan BLU BPDLH dalam pengelolaan Dana PFB selain kegiatan pengumpulan dana, pengembangan dana, penyaluran dana. Namun demikian, apabila nantinya terdapat kebutuhan untuk melakukan suatu kegiatan baru, maka Perpres tersebut sudah memberikan kewenangan dan landasan hukum yang kuat. Tentunya, penambahan jenis kegiatan ini dilakukan dengan tetap berpedoman pada koridor penguatan kapasitas pendanaan penganggulangan bencana.
Implementasi Pengelolaan Dana PFB Masih Memerlukan Ketentuan Teknis
Dengan berbagai hal positif yang ditawarkan, sepertinya kita masih perlu bersabar untuk dapat menikmati output dan outcome yang dapat dihasilkan dari pengelolaan Dana PFB. Pada saat ini, pengelolaan Dana PFB yang hanya mendasarkan pada Perpres 75/2021 dirasa masih belum operasional. Ketentuan-ketentuan dalam tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut secara detail ke dalam PMK. Penyusunan PMK turunan Perpres 75/2021 perlu segera diselesaikan agar dapat dijadikan pedoman, khususnya bagi seluruh stakeholders dalam pengelolaan Dana PFB, maupun kegiatan penanggulangan bencana di Indonesia secara umum. Setiap unit terkait perlu untuk lebih kooperatif dan melakukan akselerasi penyelesaian PMK dimaksud, karena Indonesia sangat membutuhkan implementasi pengelolaan Dana PFB secara penuh guna menjadi buffer atas risiko bencana di negeri ini. Paling tidak, Indonesia telah memulai sejumlah langkah konkret untuk menjawab potensi risiko sebagaimana telah dipublikasikan dalam The World Risk Report 2023 dalam upayanya untuk memperkuat kapasitas pendanaan penanggulangan bencana.
Kategori: Tata Kelola
0 Komentar |
---|