Pengelolaan PBB di Pusat dan Daerah? Ini Bedanya!

24 Agustus 2022, Penulis : TEDDY FERDIAN

Ketika mendengar suatu topik pembicaraan terkait perpajakan, pandangan masyarakat secara umum akan tertuju pada otoritas pajak di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pandangan ini sebenarnya tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. DJP memang merupakan institusi pemerintah pusat di bawah Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terkait dengan perpajakan, antara lain pengumpulan penerimaan pajak, penyusunan aturan dan proses bisnis perpajakan, pemberian pelayanan pajak, pembangunan sistem informasi dan teknologi terkait perpajakan, dan pelaksanaan penegakan hukum di bidang perpajakan. Namun, tahukah Anda bahwa DJP bukan satu-satunya institusi yang mengelola pajak di Indonesia.

Belum lama ini, seiring dengan naiknya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% (dari sebelumnya 10%) yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 2022, korelasinya dengan Pajak Pembangunan 1 (PB1) yang dikelola pemerintah daerah (pemda) menjadi perbincangan. Apakah PB1 atau Pajak Restoran juga akan naik menjadi 11%? Mengapa ada restoran yang menaikkan PB1nya menjadi 11%?  Apakah PPN sama dengan Pajak Restoran? dan pertanyaan lain terkait hal ini pun banyak dilontarkan masyarakat. 

Pengelolaan PBB di DJP dan Pemda

Dari contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya ada institusi atau lembaga lain yang juga mengelola pajak selain DJP, yaitu satuan kerja perangkat daerah yang ada di pemda. Perbincangan terkait PPN dan PB1 di atas mengemuka karena mispersepsi pengenaan atas jenis pajak berbeda yang dikelola DJP dan pemda. Menariknya, ternyata ada juga mispersepsi yang timbul karena jenis pajak yang sama, namun dikelola oleh dua institusi yang berbeda, DJP dan pemda. Jenis pajak ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010, DJP merupakan satu-satunya institusi pengelola PBB di Indonesia. Setelah berlakunya Undang-Undang tersebut, pengelolaan PBB dibagi menjadi dua. 

Pertama, PBB Perdesaan dan Perkotaan (P2) dikelola oleh pemda. Jenis pajak yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau biasa disebut Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) juga dikelola oleh pemda. Kedua, PBB Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (P3) dikelola oleh DJP. Objek PBB yang dikelola DJP juga termasuk sektor lainnya selain perdesaan dan perkotaan yang sudah dikelola oleh pemda. Empat sektor objek PBB yang dikelola DJP ini kemudian bertambah menjadi enam sektor seiring dengan terbit dan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Keenam sektor objek pajak yang dimaksud adalah perkebunan, perhutanan, pertambangan migas, pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, pertambangan minerba, serta sektor lainnya selain objek pajak perdesaan dan perkotaan (P5L).   

Di pemda ada satuan kerja yang bernama Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Satuan kerja ini ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Satuan kerja ini sempat menggunakan nama Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) sebelum akhirnya menggunakan nama Bapenda sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Fungsi Penunjang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.

Bapenda di tingkat kabupaten/kota memiliki salah satu fungsi yang terkait dengan pengelolaan PBB, khususnya PBB P2, yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat Terjadinya pengalihan PBB P2 dari pemerintah pusat (DJP) ke pemerintah daerah memiliki tujuan, antara lain memperluas objek pajak dan retribusi di daerah serta menambah jenis pajak yang dikelola oleh daerah yang pada akhirnya dapat menambah sumber pendapatan daerah. 

Pentingnya Sinergi

Dalam praktiknya, tentunya sinergi antara DJP dan pemerintah daerah mutlak diperlukan. DJP sebagai institusi yang lebih dulu mengelola PBB diharapkan dapat berbagi ilmu terkait pengelolaan, pendataan, penilaian, dan penggunaan aplikasi kepada pemerintah daerah. Hal ini yang telah dan terus dilakukan oleh DJP. 

Sinergi ini diharapkan akan bermuara pada peningkatan penerimaan negara dan pelaksanaan pembangunan di tanah air. DJP mengelola PBB sebagai bagian dari upaya mengumpulkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan. Pemerintah daerah melalui Bapenda melaksanakan pengelolaan PBB untuk menambah pendapatan daerah yang hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat untuk dapat dinikmati melalui pelaksanaan pembangunan di daerah.

Pada akhirnya, tidak perlu ada mispersepsi terkait pengelolaan PBB. PBB dikelola oleh masing-masing institusi berdasarkan fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Masyarakat dan wajib pajak sebagai pemilik dari objek yang dikenakan PBB menjadi pihak yang sangat berperan dalam mewujudkan pembangunan di negeri tercinta melalui pembayaran pajak. Kesadaran pajak dari seluruh masyarakat menjadi modal yang berharga dalam meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Kirim Komentar

0 Komentar