Pajak Karbon, Wujud Komitmen Indonesia Menuju Green Economy

10 Mei 2022, Penulis : Desak Putu Sri Shania Aprilia

Presiden Joko Widodo resmi mengundangkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 pada tanggal 29 Oktober 2021. Selain disetujuinya berbagai pembaharuan aturan terkait perpajakan, muncul pajak karbon sebagai jenis pajak baru di Indonesia. 

 

Apa Itu Pajak Karbon?

Statistical Terms OECD menyebutkan pajak karbon adalah instrumen internalisasi biaya lingkungan. Pajak karbon juga dapat dikatakan sebagai turunan dari pigouvian tax. Pigouvian tax merupakan pajak yang dikenakan atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif. 

“An externality refers to the uncompensated impact of one person's actions on the well-being of a bystander” (Mankiw, 2012). Apabila dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut menguntungkan, maka termasuk sebagai eksternalitas positif. Sebaliknya, apabila dampak yang diakibatkan merugikan, maka disebut sebagai eksternalitas negatif. 

 

Urgensi Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Lahirnya UU HUP menandai babak baru Indonesia di bidang pencegahan pencemaran lingkungan dan pengendalian perubahan iklim. Perlunya pengendalian peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi sehingga akan menurunkan risiko perubahan iklim dan bencana di Indonesia. 

Terdapat beberapa alasan mengapa penerapan pajak karbon di Indonesia sangat diperlukan. Pertama, Indonesia merupakan salah satu kontributor emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Indonesia mendapat perhatian begitu besar karena Indonesia dikenal sebagai negara hutan hujan tropis dengan biodiversity yang cukup besar. Namun menurut data World Research Institute (WRI), lebih dari setengah emisi gas rumah kaca global disumbang oleh sepuluh negara di dunia termasuk Indonesia. Tercatat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia sebesar 965,3 MtCO2e atau setara 2% emisi dunia. 

Kedua, penerapan pajak karbon sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam pelaksanaan ekonomi hijau atau green economy. Green economy merupakan ekonomi yang dapat menciptakan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial sejalan dengan upaya mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. 

Perubahan menuju green economy sudah diperhitungkan sebagai salah satu isu penting bagi masyarakat dunia sebagai bentuk kekhawatiran atas perubahan iklim yang semakin parah. Sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia juga mulai bergegas ke arah green economy. Implementasi pajak karbon yang dimunculkan dalam UU HPP digadang-gadang dapat menjadi langkah awal yang signifikan menuju green economy. 

Kebijakan pajak karbon menjadi salah satu tahapan awal di dalam road map menuju green economy. Penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari roadmap green economy untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha dengan tetap berperan menurunkan emisi karbon. 

Ketiga, pajak karbon sudah banyak diterapkan oleh negara-negara lain dan terbukti memberikan dampak penurunan emisi karbon. Finlandia sebagai negara pertama yang menerapkan pajak karbon pada tahun 1990, kemudian diikuti oleh Selandia Baru pada tahun 2005. 

Sebagai contoh, Jepang telah membebankan pajak karbon untuk per ton emisi CO2 yakni sebesar 289 Yen atau setara dengan Rp38.000. Sejak 6 tahun terakhir mulai tahun 2013 hingga tahun 2019, Jepang berhasil mengurangi emisi karbon sampai dengan 8,2%. 

Negara lainnya yang juga telah menerapkan pajak karbon seperti Denmark, Belanda, dan Swedia. Negara -negara yang telah menerapkan pajak karbon merasakan adanya dampak berupa penurunan emisi sekaligus penambahan pemasukan negara dari penerimaan pajak. 

 

Pajak Karbon dalam UU HPP 

Penerapan pajak karbon menurut UU HPP akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan roadmap yang akan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Hal ini untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha namun tetap mampu berperan dalam penurunan emisi karbon. 

Ketentuan mengenai pajak karbon yang terdapat dalam UU HPP berbeda dari usulan awal pemerintah melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Perbedaan tersebut berupa perubahan besaran tarif, dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. 

Perbedaan lainnya yaitu adanya peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon. Sebelumnya, skema ini tidak terdapat dalam usulan pemerintah melalui RUU KUP. Pertama, pada tahun 2021 dilakukan pembahasan dan penetapan RUU HPP dengan salah satu klausul nya adalah pajak karbon, pengembangan mekanisme teknis pajak karbon dan bursa karbon, dan piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit oleh Kementerian ESDM dengan harga rata-rata Rp30.000/tCO2e. 

Selanjutnya pada tahun 2022-2024, ditetapkan cap utuk sektor pembangkit listrik batubara oleh Kementerian ESDM, cap (batas atas emisi) yang digunakan adalah batas atas yang berlaku pada piloting perdagangan karbon pembangkit listrik. Implementasi pertama kali 1 April 2022 pada sektor PLTU batubara dengan skema cap and tax yang searah dengan implementasi pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara. 

Skema terakhir, pada tahun 2025 dan seterusnya dilaksanakan implementasi perdagangan karbon secara penuh, perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai dengan kesiapan sektor, penetapan aturan pelaksana tata laksana pajak karbon (cap and tax) untuk sektor lainnya. 

Penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil.  Entitas yang mengemisi lebih dari cap diharuskan membeli ijin emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon). Dalam hal entitas tersebut tidak dapat membeli ijin emisi (SIE) atau sertifikat penurunan emisi (SPE) atas emisi di atas cap seluruhnya maka sisa emisi akan dikenakan pajak karbon. 

Dalam penerapan kedepannya, perlu dipertimbangkan beberapa aspek seperti kemudahan administrasi perpajakannya, peraturan yang jelas, serta sosialisasi yang efektif terutama ke pelaku industri. Penerapan pajak karbon merupakan suatu langkah kebijakan yang perlu didukung. Dilihat dari sisi yang lebih luas, pajak karbon dapat menjadi pendorong Indonesia menuju masa depan green economy dan net zero emission. 

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Kirim Komentar

0 Komentar