Menuju Implementasi Pajak Karbon

18 Agustus 2024, Penulis : Resha Aditya Pratama

Tak perlu dipungkiri lagi, anomali iklim telah kita rasakan hingga saat ini. Hujan di musim kemarau dan panas di musim hujan sudah menjadi fenomena umum pada beberapa tahun terakhir. Istilah anomali iklim mulai bermunculan di berbagai kalangan media, yang bisa kita maknai sebagai pergeseran musim dari musim normalnya. Mungkin telah kita sadari bersama bahwa peristiwa ini disebabkan oleh pemanasan global akibat peningkatan suhu di bumi tiap tahunnya. Puncaknya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemanasan global menembus ambang batas 1,5 derajat celsius pada tahun 2023. 

 

Penyebab Pemanasan Global

Salah satu penyebab utama naiknya suhu rata-rata global adalah peningkatan konsentrasi emisi Gas Rumah Kaca (GRC). Jadi, GRC adalah gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antroogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Emisi gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia di bumi menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer. Gas-gas rumah kaca itu di antaranya karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC). Gas karbon sebagai pencemar utama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan bakar organik lain. Gas karbon tersebut terakumulasi di lapisan atmosfer karena tak mampu terserap oleh tumbuhan atau hutan di darat. Kondisi ini diperparah juga dengan luas hutan semakin sedikit tiap tahunnya. Yang mengakibatkan paparan panas matahari yang masuk ke bumi, tidak bisa terpantul keluar atmosfer karena tertahan lapisan GRC. Jadi, ada dua faktor utama mengapa emisi GRC semakin meningkat. Pertama, semakin bertambahnya produksi gas karbon. Lalu yang kedua adalah semakin berkurangnya hutan. 

Tentu saja, para pemimpin dunia sudah waspada dan melakukan berbagai upaya pencegahan untuk menghindari dampak paling merugikan dari perubahan iklim. Salah satunya adalah Paris Agreement 2015. Ini menjadi perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim. Perjanjian ini diadopsi oleh 196 Pihak di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) di Paris, Prancis, pada 12 Desember 2015. Di mana salah satu hal yang disepakati adalah menjaga ambang batas pemanasan global hingga 1,5-2 derajat celsius sampai tahun 2030. Namun memasuki tahun 2024, pemanasan global sudah mancapai ambang batas minimalnya di 1,5 derajat celsius. Ini menjadi alarm serius bagi dunia. Dampaknya telah dirasakan di berbagai penjuru dunia, seperti kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut, banjir, pencairan es kutub, badai, dan penurunan keanekaragaman hayati.

Dalam implementasi Paris Agreement, semua negara memerlukan transformasi ekonomi dan sosialnya demi mendukung gerakan perlindungan iklim dunia. Setiap negara yang telah meratifikasi Paris Agreement wajib menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRC) hingga tahun 2030, mendanai penyesuaian yang diperlukan, serta beradaptasi pada dampak iklim.

 

Lantas bagaimana dengan Indonesia?

Berdasarkan basis data emisi untuk Penelitian Atmosfer Global (EDGAR) Komisi Eropa Indonesia sendiri menempati urutan ketujuh dari 11 negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia pada 2022 Sementara enam negara teratas penghasil emisi GRK terbesar global 2022 adalah Tiongkok, Amerika Serikat, UE27, Rusia, dan Brasil.

Dilansir dari siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), NDC Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 31,9% dengan usaha sendiri, dan 43,2% dengan dukungan internasional. Serta target perekonomian yang memenuhi Net Zero Emission (NZE) yang baru-baru ini dipercepat dari tahun 2070 menjadi tahun 2060. Salah satu upaya yang dilakukan Indonesia untuk menurunkan emisi karbon adalah dengan pajak karbon. 

Pada akhir tahun 2021 silam, Pemerintah Indonesia dan DPR mengesahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur tentang kebijakan pajak karbon. Selain itu pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional Dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional sebagai aturan turunan dari implementasi pajak karbon. 

 

Pajak Karbon sebagai salah satu solusi

Pajak karbon itu sendiri adalah pajak yang dikenakan kepada setiap produk atau barang yang menghasilkan emisi karbon. Selain memenuhi Paris Agreement, tujuan dari pajak karbon ini adalah untuk mengubah perilaku pelaku usaha menuju ekonomi hijau dengan mengurangi emisi karbon serta menciptakan sumber energi baru terbarukan (EBT).

Pajak karbon dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Adapun tarif pajak karbon di Indonesia ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (8) dan (9) UU HPP di mana tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga pasar karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), dan dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) maka tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Saat ini, pembahasan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) peta jalan pajak karbon masih terus dilakukan. Alur penerapan pajak karbon di Indonesia pada tahun 2021 yaitu telah dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon dan di tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap dan tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Saat ini terdapat 146 PLTU yang menjadi peserta perdagangan karbon sub sektor pembangkit listrik di tahun 2024. Untuk ke depannya, di tahun 2025 dan seterusnya, implementasi pajak karbon secara penuh dan perluasan sektor pajak karbon. 

 

Dampak pajak karbon

Pajak karbon masih baru dan implementasinya akan mempengaruhi berbagai instrumen ekonomi. Inflasi salah satunya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan sedang berusaha membuat aturan agar implementasi pajak karbon ini tidak memicu inflasi yang tinggi.  Apabila merujuk pada karakteristik sosial masyarakat Indonesia, penerapan pengenaan pajak karbon harus diterapkan dengan prinsip kehati-hatian. Rencana awal yang telah diterapkan pemerintah adalah menerapkan pengenaan pajak karbon dari sektor energi, salah satunya yaitu produksi listrik dari PLTU yang menggunakan batu bara sebagai sumber energinya, dan setelah itu dapat dilakukan evaluasi lebih lanjut. Apabila evaluasi menunjukan hasil yang positif, pengenaan pajak karbon dapat diperluas ke sektor-sektor lainnya secara bertahap dengan mempertimbangkan persiapan masing-masing sektor dan mempertimbangkan kondisi ekonomi Indonesia pada tahun tersebut. 

Salah satu yang sedang menjadi pertimbangan pemerintah saat ini adalah bagaimana menentukan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). NEK adalah bentuk nilai ekonomi yang diberikan kepada perusahaan atau masyarakat sebagai imbalan atas upaya mereka dalam mengurangi atau menyerap emisi Gas Rumah Kaca (GRK). NEK dapat berwujud dalam bentuk kredit karbon, pajak karbon, insentif fiskal, atau format lain yang ditetapkan oleh pemerintah.

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2021 dijelaskan bahwa penyelenggaraan NEK dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Adapun pelaksanaan penyelenggaraan NEK dilakukan melalui mekanisme, Perdagangan karbon, Pembayaran berbasis kinerja, Pungutan Atas Karbon; dan/atau Mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditetapkan oleh Menteri. Yang menjadi tantangan saat ini adalah merumuskan agar perhitungan NEK-nya menjadi lebih efisiensi dan akurat dilakukan oleh semua sektor. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pratama BA, Ramadhani MA, Lubis PM, Firmansyah A dengan judul Implementasi Pajak Karbon di Indonesia: Potensi Penerimaan Negara dan Penurunan jumlah Emisi Karbon,  apabila implementasi pajak karbon telah dilakukan secara efektif dan efisien, maka pemerintah Indonesia dapat memperoleh potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi senilai Rp23,651 triliun di tahun 2025 atas pengenaan pajak karbon.

Dengan rencana implementasi pajak karbon ini, selain meningkatkan penerimaan negara, diharapkan juga dapat menurunkan jumlah emisi karbon di masa yang akan datang dan mendorong para pelaku ekonomi untuk beralih pada penggunaan EBT. Apa pun peraturan implementasi yang nanti akan dikeluarkan pemerintah, kita harus ingat bahwasanya tujuan utamanya adalah menyelamatkan bumi kita. Tentunya, kita sebagai penduduk yang tinggal di bumi memiliki tanggung jawab untuk melindungi tempat tinggal kita agar tetap nyaman dan aman dihuni bagi generasi mendatang. Semoga dalam penerapannya nanti, pajak karbon ini dapat diterima masyarakat agar kita bisa melindungi ekonomi dan bumi yang kita huni ini.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.