Menjaga Perempuan Pekerja Tetap Produktif Saat Work From Home

22 September 2021, Penulis : Fakhri Julverdie

“Bu, E**, gak bisa konek, Buu, Ibuuuuuu… tolongin E**, Ibuuu…. (ikon menangis).” Demikian bunyi pesan Whatsapp yang dikirim oleh seorang anak kepada ibunya. Sang penerima pesan itu adalah salah satu teman saya, yang juga seorang ibu pekerja di bilangan Jakarta. Kebetulan, saat menerima pesan tersebut teman saya itu sedang berada di luar rumah. 

Itu hanya satu dari sekian banyak “drama” yang melanda kaum ibu pekerja saat menjalani pekerjaannya, baik saat Work From Home (WFH) maupun Work From Office (WFO) pada masa pandemik Covid-19. Sangat banyak cerita-cerita serupa bertebaran di media, di sekitar kita, dan bisa jadi Anda juga mengalami kejadian serupa.

Kita sering kali mendengar seruan dari pemerintah atau tokoh-tokoh masyarakat agar kita tetap produktif saat WFH. Namun, terdapat tantangan tersendiri bagi para ibu pekerja yang memiliki anak usia sekolah, agar tetap produktif dan kreatif saat WFH. 

***

Salah satu konsukuensi dari pembatasan sosial yang diberlakukan oleh banyak pemerintah daerah, adalah WFH bagi sejumlah perkantoran dan industri. Dengan adanya aturan WFH, diharapkan dapat memutus tali rantai penyebaran Covid-19. Pada awal WFH, terdapat kekhawatiran banyak pihak bahwa WFH tidak efektif, dan berdampak buruk pada produktivitas para pekerja. 

Untuk beberapa sektor pekerjaan atau perkantoran, WFH sama efektifnya dengan WFO. Kementerian Keuangan dapat menjadi salah satu contohnya. Hasil survei internalnya pada bulan juni lalu, dari sisi efektivitas WFH, terungkap  sebanyak 34% pegawai merasa sama saja, 13% pegawai merasa kurang efektif, dan sebanyak 51% pegawai merasa lebih efektif. Ini artinya sebagian besar pegawai di kementerian yang memiliki lebih dari 80 ribu pegawai ini masih produktif dalam mengawal tugas negara yang demikian beratnya saat ini. 

Sekarang mari kita lihat sektor perkerjaan lainnya, yakni pendidikan. Sektor Pendidikan identik dengan guru, dimana sebagian besar guru adalah perempuan. Dengan segala keterbatasannya, para guru ini menjalani WFH berupa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan setia dan sabar. 

Para pekerja pada 2 sektor di atas dan sejumlah sektor lainnya, menemukan caranya masing-masing untuk tetap produktif saat WFH. Hal ini dapat disebabkan oleh tuntutan pekerjaan, pengabdian, dan keadaan. Mereka tetap produktif   bukan sekedar mengisi waktu senggang pada masa pandemi.

Namun, beberapa potensi persoalan mengintai dibalik produktif para pekerja WFH ini, khususnya para ibu pekerja yang mempunyai anak usia sekolah. Disamping mengurus pekerjaan kantor dan rumah tangga, para ibu pekerja ini juga berperan layaknya guru di sekolah dalam PJJ. Selain itu, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual di tempat kerja, juga masih mengintai para ibu pekerja yang menjalani WFH.  

Secara langsung maupun tidak langsung, dua persoalan di atas dapat menimbulkan tekanan psikologis atau depresi berkepanjangan bagi para ibu pekerja. Pada akhirnya, akan menganggu produktivitas. Terlebih lagi, WFH berpotensi menjadi salah satu pilihan skema kerja yang akan diteruskan oleh sebagian kantor paska pandemi Coivd-19 berlalu. 

Setidaknya terdapat dua kebijakan yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjaga produktivitas para ibu pekerja ini. Pertama, mengeluarkan kebijakan berupa pelonggaran jam kerja bagi para ibu pekerja yang mempunyai anak usia sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Para ibu pekerja ini dibebaskan dari pekerjaan kantor ketika WFH, dalam durasi waktu tertentu. Misalnya, 2 jam sehari, beberapa hari dalam sebulan atau berupa kuota beberapa jam dalam seminggu. 

Seperti kita ketahui bersama, pada umumnya anak secara psikologis merasa lebih dekat dengan ibunya. Dengan adanya kebijakan ini maka para ibu pekerja mempunyai waktu lebih banyak untuk mendampingi putra-putrinya dalam pembelajaran jarak jauh. Sebenarnya, kebijakan ini mirip dengan kebijakan “Mengantar anak pada hari pertama sekolah” yang disambut baik oleh masyarakat. 

Survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada bulan Juni lalu, dapat dijadikan pijakan awal untuk kebijakan di atas. Survei ini melibatkan 25.146 anak dan 14.169 orangtua, tersebar di 34 provinsi Indonesia. Salah satu hasil surveinya mengatakan bahwa pengasuhan dominan dilakukan oleh ibu. Para ibu mengedukasi anak seperti memberi tahu protokol pencegahan, mendampingi anak saat belajar, mendampingi anak beraktivitas selama pandemi COVID-19, mengajak beribadah, hingga mengajak peduli pada sesama.

Kedua, memberikan dukungan psikologis kepada para pekerja seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Italia, atau seperti layanan konsultasi kesehatan/konseling yang kini telah tersedia di Kementerian Keuangan. Pemerintah, dapat mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pihak pemberi kerja/kantor, menyediakan layanan konseling bagi para pekerjanya. Nantinya, pemberi kerja/kantor dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan atau lembaga konseling profesional. Tentu saja layanan konseling ini harus dapat diakses dengan mudah melalui telepon maupun daring secara gratis sewaktu-waktu. Dengan demikian, layanan konseling ini dapat dimanfaatkan oleh para ibu pekerja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual di tempat kerja.

Menurut hemat saya, kebijakan layanan konseling seperti ini penting diadakan. Pasalnya, dalam survei KPAI tersebut di atas, juga disebutkan bahwa selama masa pandemi, perempuan menjadi kelompok yang rentan mengalami KDRT. Sebanyak 80% perempuan berpenghasilan dibawah Rp5 juta mengaku mengalami kekerasan selama pandemi. 

Senada dengan survei KPAI di atas, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, mencatat 508 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan selama periode WFH, sejak bulan Maret hingga awal September. Dari total laporan tersebut, paling banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan, dalam survei daring yang dilakukan Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) dan Never Okay Project Never Okay Project pada bulan April 2020, tercatat 86 dari 315 responden menjadi korban pelecehan seksual selama WFH berlangsung.

Dalam banyak penelitian maupun pemberitaan, menyatakan bahwa pandemi Covid-19 lebih banyak berdampak pada kaum perempuan. Di satu sisi, kita dapat melihat bahwa Perempuan memiliki peran luar biasa di banyak bidang. Dengan demikian, dua usulan kebijakan di atas merupakan bentuk nyata dukungan pemerintah kepada kaum perempuan, khususnya bagi kaum ibu pekerja, sekaligus suatu bentuk afirmasi pengarustamaan gender.

Kirim Komentar

0 Komentar