Menilik Progres dan Strategi Implementasi Dana Desa

24 Mei 2022, Penulis : Windraty Ariane Siallagan

Pemerintah telah berupaya keras untuk mengamankan hasil dari kebijakan Dana Desa (DD). Meskipun demikian, niat kebijakan yang baik tidak ada artinya tanpa implementasi yang sukses. Pengelolaan DD telah meningkatkan relevansi studi implementasi kebijakan publik. Penulis salah satu buku terlaris berjudul "Biksu yang Menjual Ferrarinya", Robin Sharma berkata, "ide tanpa eksekusi tidak lebih dari delusi." Dalam nada yang sama, lima dekade yang lalu, bapak studi implementasi Pressman & Wildavsky 1973 menggarisbawahi pentingnya implementasi dengan mengatakan bahwa “Kurangnya implementasi tidak mengacu pada kegagalan untuk memulai, tetapi pada ketidakmampuan untuk menindaklanjuti.” Memang, mengamankan implementasi kebijakan DD sangat diperlukan untuk mencapai hasil kebijakan terbaik.

Kompleksitas konteks kebijakan publik mengakibatkan implemenasi kebijakan DD termasuk penyalurannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bukan berarti kebijakan yang dimulai pada tahun 2015 ini tidak sepadan dengan upayanya, meskipun ada kendala, perlu digarisbawahi bahwa pengelolaan DD di Indonesia tidak berjalan dalam ruang hampa, melainkan dalam suatu konteks. Konteks spesifik implementasi harus dipelajari untuk meningkatkan keberhasilan implementasi secara signifikan.

Tidak diragukan lagi, pemerintah telah berupaya keras untuk memperbaiki mekanisme Dana Desa untuk memastikan manfaat DD di seluruh nusantara. Pertama, pada tahun 2022 Pemerintah mengalokasikan sekitar Rp68 triliun DD untuk 74.960 desa nusantara yang tersebar di 434 kabupaten/kota. Jumlah tersebut meningkat lebih dari 200% sejak DD pertama kali diperkenalkan pada 2015 yang hanya menyumbang Rp20,77 triliun. Kedua, penyempurnaan DD terus dilakukan di ranah kebijakan. Pada tahun 2022, Pemerintah memberlakukan peraturan baru yang menonjolkan kinerja sebagai pertimbangan utama alokasi DD dan penyesuaian fokus penggunaan DD setiap tahun berdasarkan prioritas nasional. Peraturan baru tersebut mendorong desa agar dapat meningkatkan statusnya dari tertinggal menjadi desa yang maju dan mandiri. Ketiga, dalam implementasinya juga telah dilakukan transformasi besar-besaran dalam pengelolaan DD. Di masa pandemi, pemerintah melonggarkan persyaratan pembayaran untuk mempercepat realisasi DD. Mekanisme monitoring dan evaluasi yang diperkuat juga telah dilakukan oleh pemerintah daerah yang melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyaluran DD, prioritas penggunaan DD, saldo DD di rekening daerah, dan hasil dari DD. 

Penting untuk dicatat bahwa implementasi DD di Indonesia bersifat spesifik konteks. Prinsip utama implementasi DD terjadi dalam konteks antar-organisasi. Di negara-negara desentralisasi seperti Indonesia, pengelolaan DD melibatkan banyak pihak, tidak hanya Pemerintah Pusat tetapi juga pemerintah daerah, yang masing-masing melibatkan banyak lembaga. Misalnya, bagaimana menargetkan penerima bantuan langsung tunai (BLT desa) dengan benar sangat bergantung pada data yang dikelola oleh pemerintah di semua tingkatan. Sumber data seperti jumlah desa, jumlah penduduk, angka kemiskinan, dan wilayah geografis berasal dari berbagai instansi, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Desa, Kementerian Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, dan Badan Pusat Statistik ( BPS) serta pemerintah daerah.

Dalam pengaturan implementasi antar-organisasi, satu tingkat pemerintahan jarang memiliki kekuatan dan pengaruh tunggal atas cara program dirancang, didanai, dan dikelola. Berbagai tingkat pemerintahan yang terlibat secara bersamaan dalam DD dapat mendorong konflik kepentingan dalam proses implementasi, yang membuat kepatuhan terhadap yang regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sulit dicapai. Masalah implementasi muncul ketika keputusan politik tidak dilakukan sesuai dengan maksud pembuat kebijakan. Hal ini benar dalam kasus manajemen DD di mana kepatuhan umum terhadap peraturan yang dimaksudkan oleh pembuat kebijakan masih ditemukan.

Studi implementasi memberikan bukti bagaimana kerjasama merupakan faktor kunci implementasi dalam konteks, terutama di mana instansi pemerintah pusat dan daerah memiliki agenda yang sangat berbeda. Studi lain juga menunjukkan bahwa praktik administrasi publik lokal tidak selalu sesuai dengan tujuan dokumen resmi resmi dari Pemerintah Pusat karena kurangnya kejelasan kebijakan atau kegagalan dalam mentransmisikan kebijakan pusat ke tingkat lokal, dan dengan demikian komunikasi menjadi sangat penting.

Konteks lain seputar implementasi DD terkait dengan kenyataan bahwa desa-desa yang tersebar di seluruh Indonesia dalam pemerintahan daerah yang berbeda dengan kapasitas yang bervariasi. Sangat jelas bahwa kemampuan implementasi yang bervariasi menghasilkan kinerja manajemen DD yang bervariasi. Hasil monitoring dan evaluasi DD yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan memberikan bukti adanya perbedaan kapasitas yang tercermin dari permasalahan seperti kurangnya pengetahuan untuk implementasi, keterlambatan penyaluran dana yang cenderung meningkat pada akhir tahun, dan kesulitan penyaluran karena kendala pendataan keluarga penerima manfaat.

Mengingat pemahaman konteks spesifik implementasi DD, solusi harus dicari secara khusus dengan mempertimbangkan konteksnya. Oleh karena itu, kerjasama harus dirancang untuk melaksanakan implementasi kebijakan DD tertentu. Dialog kebijakan perlu dilakukan tidak hanya dilakukan secara rutin tetapi juga diintensifkan untuk mendorong kerjasama dan koordinasi untuk menanamkan permasalahan implementasi yang spesifik di masing-masing daerah. Pendekatan selimut (blanket approach) atau sama rata bagi semua desa mungkin tidak lagi cocok, tetapi solusi harus disesuaikan dengan baik untuk konteks tertentu di setiap desa. Selain itu, penting untuk berinteraksi secara teratur melalui pertemuan dan bentuk komunikasi formal dan informal lainnya untuk membangun kepercayaan dan memastikan maksud kebijakan pusat dipahami oleh peserta di tingkat lokal.

Untuk memastikan keberhasilan implementasi antar-organisasi, Pemerintah juga perlu memelihara kapasitas kepemimpinan kolaboratif, dan bukan sekedar menerapkan gaya kepemimpinan tradisional dari atas ke bawah. Keberadaan pemimpin kolaboratif yang kuat menciptakan rasa persatuan di antara manajer implementasi di tingkat pemerintahan yang berbeda dan dengan demikian memainkan pengaruh yang signifikan dalam keberhasilan implementasi DD. Terakhir, terkait dengan masalah kurangnya kapasitas, maka sangat penting bagi Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah untuk melakukan upaya yang masif dan terpadu untuk mengedukasi penduduk desa tentang cara mengelola dana, baik melalui bantuan teknis maupun program sosialisasi kepada penduduk desa. Mengamankan implementasi berarti mengamankan hasil kebijakan. Sekali lagi, seperti yang dikatakan Pressman dan Wildavsky, “Janji [kebijakan] dapat menciptakan harapan, tetapi janji yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan kekecewaan dan frustrasi.

 

Kirim Komentar

0 Komentar