Menakar Tarif Pajak yang Optimal Bagi Pajak Karbon

06 Desember 2021, Penulis : RINALDI

Pemerintah baru saja mengundangkan aturan Pengenaan pajak karbon pada Undang-undang No. 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan. Dalam acara kick-off sosialisasi UU HPP yang dilakukan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 19 November 2021 disebutkan bahwa tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan minimal tarif Rp. 30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), atau Rp. 30.000/ton C02e (tCO2e) atau US$ 2,1/tCO2e (kurs 19 Nov 2021).

Banyak pengamat menganggap bahwa tarif pajak karbon yang diterapkan oleh Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Singapura (US$ 3,71/tCO2e), padahal Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia (World Resource Institute, 2020) dan menghasilkan emisi karbon lebih besar daripada Singapura. Menurut dashboard carbon pricing Bank Dunia, negara yang menerapkan tarif pajak karbon tertinggi saat ini adalah Swedia dengan tarif US$ 137,24/tCO2e, diikuti 2 negara Eropa lainnya yaitu Swiss dan Liechtenstein (US$ 101,24).

 

Kenapa harus ada Pajak Karbon?

Pandemi covid-19 yang menghantam dunia pada triwulan I 2020 sampai sekarang menyadarkan seluruh dunia bahwa ekonomi global sangat rentan akan guncangan yang justru berasal dari luar dimensi ekonomi, virus yang notabene adalah masalah kesehatan menjelma menjadi sebuah mimpi buruk bagi ekonomi global, krisis kesehatan berubah menjadi krisis sosial, krisis sosial berubah menjadi krisis ekonomi bahkan menjalar ke krisis sektor keuangan. Ini yang disebut krisis multidimensi, Tidak seperti krisis keuangan Asia tahun 1998 yang menghantam sisi permintaan dan krisis keuangan global di tahun 2008 yang mereduksi sektor penawaran, krisis ekonomi yang disebabkan covid-19 menyerang sisi permintaan dan sisi penawaran. Di Tahun 2020, ekonomi global terkontraksi 3,1% yoy, Indonesia berada di level yang sedikit lebih baik dengan hanya terkontraksi 2,07% yoy.

Pun demikian isu perubahan iklim, perubahan iklim menyimpan ancaman krisis multidimensi yang sama dahsyatnya dengan covid-19. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa magnitude krisis yang disebabkan oleh perubahan iklim diperkirakan sama dengan krisis yang disebabkan covid-19, mirip dengan covid-19, tidak ada satu pun negara di dunia yang bisa selamat dari krisis akibat perubahan iklim. Oleh sebab itu dibutuhkan langkah mitigasi risiko dan penyusunan strategi yang tepat untuk bisa mencegah terjadinya krisis multidimensi berikutnya yang disebabkan perubahan iklim.

Pada pertemuan G-20 terakhir di Italia, negara G-20 sudah sepakat untuk mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2050, namun belum menetapkan tanggal yang pasti. Indonesia sendiri telah berkomitmen melaksanakan langkah penanggulangan perubahan iklim sesuai dengan perjanjian Paris (Paris agreement) tahun 2015. Perjanjian Paris sendiri merupakan suatu komitmen 196 negara dalam suatu pertemuan yang disebut COP 21, saat itu 196 negara sepakat bahwa di tahun 2020, mereka harus menyusun National Determined Contributions (NDC), suatu kontribusi yang harus disepakati secara nasional dalam hal menanggulangi perubahan iklim. Indonesia dalam NDC-nya yang diperbarui dalam COP 26 di Glasgow pada awal November 2021 berkomitmen untuk mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat. 

Namun tantangan yang dihadapi untuk mencapai target ini tidak mudah, apalagi dengan status Indonesia sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar, dibutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk mencapai target 29% NDC, Indonesia membutuhkan paling tidak US$ 270 miliar atau sekitar Rp. 3.800 T atau sama dengan 1/4 PDB Indonesia di tahun 2020. Perlu diingat, ini baru untuk mencapai 29%, angka ini akan bertambah lebih besar jika ingin mencapai 100% target nol emisi karbon. Ditambah lagi kebutuhan energi Indonesia akan terus bertambah, pertumbuhan kebutuhan energi ini harus segera di isi dengan energi yang efisien dan rendah emisi karbon. Disinilah peran transisi energi menjadi sangat penting, bagaimana Indonesia bisa merubah kebutuhan energi fosil menjadi energi terbarukan adalah salah satu kunci untuk mengatasi perubahan iklim. 

Mekanisme Transisi Energi akan merubah mindset terhadap kebutuhan pembiayaan yang mahal akan menjadi lebih murah, Indonesia akan melakukannya dari sektor energi, memberhentikan lebih awal pembangkit tenaga listrik batu bara misalnya atau merubah pembangkit listrik ini menjadi lebih efisien. Namun untuk mendukung kebijakan ini berhasil, dibutuhkan ekosistem pasar karbon yang baik atau biasa disebut mekanisme pasar karbon.

 

Tarif Pajak Karbon Yang Optimal

Pajak karbon merupakan salah satu jenis Pigouvian Tax. Jenis pajak yang diambil dari nama seorang ekonomi Inggris Arthur Cecil Pigou ini adalah jenis pajak yang paling cocok dikenakan atas karbon, karena sifat karbon yang menciptakan eksternalitas negatif dan merupakan dampak dari suatu kegiatan ekonomi. Karbon sendiri diambil sebagai istilah untuk penamaan jenis pajak yang dikenakan karena karbon (CO2) merupakan gas yang paling dominan dalam emisi yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi. 

Dalam UU HPP, ada dua skema yang diterapkan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon yaitu skema cap-and-trade dan cap-and-tax. Cap-and-trade artinya entitas yang mengemisi lebih dari cap (batasan) diharuskan membeli izin emisi dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi. Sedangkan cap-and-tax artinya dalam hal entitas penghasil emisi tersebut tidak dapat membeli izin emisi atau sertifikat penurunan emisi, maka atas emisi yang berada di atas cap tersebut akan dikenakan pajak karbon.

Emisi karbon yang timbul dari aktivitas ekonomi merupakan barang publik global, emisi karbon akan memberikan efek kepada seluruh pelaku ekonomi tidak hanya kepada penghasil emisi karbon, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Sehingga untuk menciptakan suatu sistem pengenaan pajak karbon yang adil bagi membutuhkan kerjasama internasional. Bahkan suatu negara maju-pun yang telah menerapkan tarif pajak karbon yang tinggi (misalnya Swedia) belum tentu akan memberikan kontribusi yang maksimal terhadap pengurangan emisi karbon global.

Indonesia memang baru akan menerapkan tarif pajak karbon di tahun 2022 dan baru hanya pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, itupun dengan tarif yang tergolong rendah. Namun perlu diingat belum ada satu konsensus global-pun yang telah mengatur tentang berapa tarif pajak karbon yang ideal bagi masing-masing negara, baik itu bagi negara maju maupun negara berkembang. Menurut sebuah komisi tingkat tinggi untuk harga karbon (High-level commission on carbon prices) yang diketuai oleh Joseph Stiglitz dan Nicholas stern, untuk mencapai target sesuai perjanjian Paris, maka harga karbon yang harus dikenakan berkisar antara US$ 40 -US$ 80/tCO2e.

Dalam buku the Economic of Taxation (2011), karangan Bernard Salanie, seorang Profesor Ekonomi dari Universitas Columbia, untuk menentukan pajak optimal seperti pajak karbon yang merupakan jenis corrective tax, maka pertama harus ditentukan dahulu berapa batasan dalam sistem cap-and-trade tersebut, kemudian baru ditentukan berapa pajak yang akan dikenakan atas setiap ton karbon yang dihasilkan jika melewati batasan yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk menentukan batasan dari emisi global, maka harus dihitung berapa biaya pengurangan marjinal (marginal cost of abatement) dan manfaat sosial marjinal (social marginal benefit). Biaya pengurangan karbon ini bersifat tidak pasti, salah satunya tergantung dari kecepatan inovasi teknologi, misalnya teknologi carbon capture dan ruang penyimpanannya. Satu hal yang pasti, yaitu menghitung kerusakan lingkungan akibat emisi karbon adalah hal yang sulit dilakukan, ditambah lagi emisi yang dihasilkan sekarang bisa jadi mempengaruhi perubahan suhu di beberapa abad yang akan datang, jadi tidak bisa dirasakan sekarang. Sehingga jika harus dihitung berapa dampak kerusakan lingkungan akibat emisi karbon, maka perhitungan tersebut harus memperhitungkan beda waktu, masa kini dan masa depan, atau meminjam istilah Salanie adalah discounting over remote time. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa tarif pajak karbon yang optimal harus ditentukan dari berapa kerusakan marjinal yang dihasilkan dari setiap tambahan unit dari emisi karbon.

Tarif pajak karbon yang telah ditetapkan oleh Indonesia dalam UU no.7 HPP memang tergolong rendah, namun sekali lagi, tidak ada satu pun tarif pajak karbon global yang telah disepakati. Kondisi yang dihadapi oleh setiap negara berbeda-beda, Menteri Keuangan RI sudah mengatakan bahwa penerapan pajak karbon di Indonesia akan menerapkan prinsip adil dan keterjangkauan dan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Kepala BKF- Kemenkeu mengatakan bahwa dengan menerapkan pajak karbon, Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon. Pemerintah Indonesia sendiri telah menyusun peta jalan pajak karbon hingga tahun 2025, dimana pada tahun 2025 diharapkan implementasi perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan pen-tahapan sesuai dengan kesiapan sektor. Di tahun 2022, sebagai tahun awal penerapan pajak karbon, Indonesia akan menerapkan pajak karbon secara terbatas hanya untuk PLTU Batu bara. Perluasan sektor sesuai dengan peta jalan tersebut tentu akan menimbulkan isu tersendiri karena sektor yang paling masuk akal untuk dikenakan pajak karbon berikutnya adalah tentu saja sektor pembangkit listrik tenaga non-batu bara dan sektor transportasi yang merupakan penghasil emisi terbesar setelah sektor energi. Tantangan berikutnya adalah menetapkan batasan atau cap dari pengenaan pajak karbon untuk sektor PLTU batubara sebagai piloting perdagangan karbon. Komunikasi antara Pemerintah dan pemangku kepentingan di sektor terkait mutlak harus dilakukan untuk menjaga iklim investasi di Indonesia. Dan yang paling penting adalah menjaga kesinambungan kebijakan dalam upaya menurunkan emisi karbon dan menghindari krisis multi dimensi yang bisa disebabkan oleh Perubahan Iklim. 

Kirim Komentar

0 Komentar