Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Subyektif

20 Januari 2022, Penulis : Andri Ristanto

Selama ini telah menjadi anggapan umum bahwa semakin besar PDB, semakin sejahtera suatu negara dan warganya. Padahal tidak demikian kenyataannya. PDB hanya mengukur ukuran ekonomi suatu negara, tidak lebih hanya sebagai pengukuran produksi pasar dan tidak mencerminkan kesejahteraan suatu negara. Standar hidup individu lebih banyak ditentukan oleh pendapatan dan konsumsi dibandingkan dengan produksi, karena pada kenyataannya produksi bisa terus meningkat nilainya disaat pendapatan dan konsumsi masyarakat mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya. 

Ukuran kesejahteraan lain yang sering digunakan adalah PDB per kapita. Namun, pendapatan per kapita dianggap tidak mencukupi karena gagal memperhitungkan aspek-aspek penting ekonomi, gagal untuk mencakup berbagai fitur kehidupan non-ekonomi, dan mengabaikan keberlanjutan. 

Indikator ekonomi memiliki keterbatasan dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Indikator ekonomi tersebut secara umum diukur secara obyektif dengan pengukuran berbasis uang. Oleh karena itu selain ukuran moneter dan material, indikator kesejahteraan penduduk sangat penting untuk menjadi perhatian serius. Indikator kesejahteraan dibuat tidak hanya untuk merepresentasikan kondisi kemakmuran dari sisi material (welfare atau well-being) saja, tetapi juga lebih mengarah kepada kondisi kesejahteraan subjektif (subjective well-being) atau kondisi kebahagiaan, kepuasan hidup atau kualitas hidup.

Indeks kebahagiaan dapat dijadikan sebagai tolok ukur capaian kinerja pembangunan menjadi lebih akurat, dan sekaligus menjadi dasar pertimbangan pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan dan kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat perlu dilakukan evaluasi menggunakan beberapa indikator, dan indikator yang digunakan bukan hanya hasil pengukuran secara objektif, tetapi juga hasil dari pengukuran subjektif.

Kualitas hidup adalah konsep yang lebih luas dibandingkan produksi ekonomi dan standar hidup, yang meliputi seluruh faktor yang memberikan pengaruh terhadap apa yang kita hargai dalam hidup, melampaui aspek materialnya. Artinya, kualitas hidup mencakup semua faktor, termasuk yang tidak dihitung dalam statistik moneter dan tidak diperdagangkan di pasar, yang membuat hidup kita berharga.

Kebahagiaan apabila dianggap sebagai perwujudan emosi, cenderung terlalu sempit dan berjangka pendek untuk dijadikan sebagai refleksi yang memadai untuk menggambarkan kehidupan yang baik. Untuk itu, diperlukan gagasan kebahagiaan yang lebih luas sebagai penilaian tentang kehidupan secara keseluruhan. Ketika orang ditanya tentang kebahagiaan kemarin, atau saat ini, mereka menerimanya sebagai pertanyaan tentang emosi. Sebaliknya, ketika ditanya seberapa bahagia mereka dengan kehidupan mereka secara keseluruhan, mereka membuat penilaian kognitif dan menjawab dengan tepat. Dengan demikian, evaluasi kehidupan, apakah itu dinyatakan dalam hal kebahagiaan atau kepuasan hidup, memang mencerminkan aspek yang lebih luas dari perkembangan pembangunan manusia. Sementara kondisi tentang kebahagiaan kemarin adalah merupakan kondisi bersifat emosional yang kurang mencerminkan kondisi kehidupan dalam jangka panjang.

Secara umum para ahli ekonomi tidak terlalu detail dalam mendefinisikan kebahagiaan karena kebahagiaan itu sendiri adalah sesuatu yang sulit didefinisikan akan tetapi dapat diukur. Kebahagiaan atau kesejahteraan subyektif biasanya digunakan oleh para ahli sebagai istilah umum untuk menunjukkan persepsi positif individu tentang kehidupannya. Para ekonom telah mencoba untuk memfokuskan kajian pada Economics of Happiness selama satu dekade terakhir, yang juga dikenal sebagai salah satu pendekatan subjektif terhadap kesejahteraan atau Subjective Well-Being. Economics of Happiness adalah sebuah pendekatan untuk mengukur kesejahteraan dengan menggabungkan teknik yang digunakan oleh psikolog dan yang digunakan oleh ekonom. Teori ini merujuk pada teori ekonomi yang menyatakan bahwa setiap individu akan selalu berusaha untuk dapat memaksimalkan utilitas, dan pada akhirnya akan menghasilkan kepuasan.

Peneliti di bidang ekonomi menggunakan beberapa teknik atau pendekatan agar kebahagiaan dapat diukur karena kebahagiaan merupakan sesuatu yang bersifat intangible. Di bidang ekonomi, studi mengenai kebahagiaan merupakan bagian dari pendekatan kesejahteran secara subjektif di mana utilitas adalah sesuatu yang dapat diukur melalui beberapa teknik pengumpulan data dan informasi. Melalui teknik ini memungkinkan bisa mengukur kebahagiaan secara kuantitatif melalui pertanyaan ‘’Seberapa bahagiakah anda dengan kehidupan anda secara keseluruhan?’’. Hal inilah yang membuat kebahagiaan dari sudut pandang ekonomi berbeda dengan sudut pandang disiplin ilmu lain.

Berdasarkan hasil penelitian di beberapa negara, kebahagiaan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor atau determinan yaitu kepribadian dan demografis, faktor ekonomi mikro dan makro, dan faktor kondisi kelembagaan atau konstitusi, dengan demokrasi dan tingkat otonomi daerah menjadi faktor yang paling penting. Faktor demografi yang berpengaruh antara lain karakter individu seperti umur, status perkawinan, kondisi keluarga, jenis kelamin, pendidikan dan kesehatan. Dalam faktor ekonomi, kondisi pengangguran, pendapatan dan inflasi dinilai berpengaruh terhadap kebahagiaan individu. Sementara itu kualitas demokrasi seperti sejauh mana kemungkinan warga negara berpartisipasi dalam politik dan derajat desentralisasi pemerintahan menjadi komponen utama kondisi lingkungan politik yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif. 

Berbeda dengan hasil-hasil penelitian tersebut, penulis berpendapat bahwa kondisi tingkat kebahagiaan di beberapa negara yang masih rendah dapat diduga ada kemungkinan karena belum tercukupinya kebutuhan dasar. Hal ini sejalan dengan teori kebutuhan Maslow yang menyatakan bahwa manusia memiliki berbagai tingkat kebutuhan atau hierarki kebutuhan, mulai dari yang paling dasar sampai kebutuhan tertinggi. Individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang besifat hierarkis yaitu mulai dari paling dasar atau fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Kebutuhan paling dasar, seperti kebutuhan akan makanan, minuman dan tempat berteduh (sandang, pangan, papan), merupakan kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik. Kebutuhan tersebut adalah potensi paling dasar dan memiliki pengaruh besar untuk semua pemenuhan kebutuhan di atasnya. Individu akan menekan terlebih dahulu semua kebutuhan lainnya atau bahkan mengabaikannya sampai kebutuhan paling dasarnya itu terpuaskan. 

Pendapat penulis didukung oleh fenomena yang menunjukan bahwa kesejahteraan subyektif (kebahagiaan) erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan dimana hasil pemetaan berdasar data dari World Happiness Report dan Global Food Security Index (GFSI) antara tingkat kebahagiaan dan ketahanan pangan antar negara menunjukan adanya pola yang konsisten yaitu negara-negara yang memiliki indeks ketahanan pangan yang rendah adalah negara-negara yang memiliki indeks kebahagiaan rendah yang pula, dan sebaliknya, negara yang memiliki ketahanan pangan yang baik akan memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Kondisi ini memberikan sinyal bahwa kesejahteraan diawali dengan pembentukan karakter individu dari manusianya yang diawali dari terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) yaitu masalah pangan yang di dalamnya tidak hanya mencakup ketersediaan dari barang tersebut tetapi juga mencakup akses untuk mendapatkan barang, pemanfaatan barang tersebut serta stabilitas terutama masalah ketersediaan stok makanan dan fluktuasi harga. Pendapat penulis ini memang perlu didukung dan dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut. 

Pengukuran ketahanan pangan berdasarkan FAO dengan menggunakan food security indicators yang membagi ketahanan pangan ke dalam 4 dimensi yaitu availability, access, stability dan utilization. Dimensi availability yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dimensi access yaitu memiliki akses atau keterjangkauan baik secara fisik, ekonomi dan sosial. Dimensi stability yaitu masyarakat mempunyai kemampuan untuk mengakses dan menggunakan makanan dengan kondisi stabil dan berkelanjutan sepanjang waktu. Dimensi utilization yaitu masyarakat memiliki pengetahuan dan kondisi sanitasi yang mendasar untuk memilih, mempersiapkan dan mendistribusikan makanan melalui suatu cara yang akan menghasilkan nutrisi yang baik.

Upaya peningkatan kesejahteraan subyektif menurut penulis dapat dilakukan melalui peningkatan ketahanan pangan yang terkait dengan kebutuhan dasar, yang dapat dilakukan melalui beberapa program berdasarkan pada masing-masing dimensi. Pada dimensi availability melalui program kecukupan pasokan makanan bergizi, peningkatan produksi pangan dan peningkatan asupan protein. Untuk dimensi access yaitu melalui keterjangkauan harga makanan domestik, program pemberantasan kekurangan gizi serta penurunan defisit pangan. Program pada dimensi stability dapat dilakukan melalui program variabilitas produksi dan pasokan makanan perkapita, sedangkan untuk dimensi utilization dilakukan melalui program pemberantasan stunting, program perawatan kesehatan dan kecukupan gizi ibu hamil serta program penyediaan vitamin untuk anak-anak.

Program-program unconditional transfer dan conditional transfer yang sudah ada dan berjalan seperti Raskin, BLSM dan Program Keluarga Harapan (PKH) perlu ditingkatkan jangkauan, efektivitas dan ketepatan sasarannya. Bila program-program peningkatan ketahanan pangan yang terkait dengan kebutuhan dasar tersebut berhasil dilaksanakan maka akan meningkatkan indeks ketahanan pangan dan pada gilirannya akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan subyektif.

Kategori: Kebijakan Fiskal

Tag: #

Kirim Komentar

0 Komentar