Krisis Kepemilikan Rumah bagi Millenial dan Gen X
Harga properti global terus mengalami lonjakan signifikan pada tahun 2024, menjadikan kepemilikan rumah semakin sulit dijangkau, terutama bagi generasi muda. Dengan pendapatan yang mayoritas digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar, impian memiliki hunian sendiri semakin menjauh. Berdasarkan laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2019, sekitar 81 juta Milenial di Indonesia masih belum memiliki rumah. Bahkan, generasi sebelumnya, seperti Gen X, juga mengalami kesulitan, dengan data pada 2022 menunjukkan 4,34 juta rumah tangga belum memiliki hunian tetap. Masalah ini diperburuk dengan terus meningkatnya harga rumah yang tidak sebanding dengan pertumbuhan gaji masyarakat. Indonesia termasuk dalam daftar negara yang paling sulit bagi penduduknya untuk membeli rumah pada tahun 2024 (BestBrokers: 2025).
Negara dengan Kesulitan Tertinggi dalam Membeli Rumah
Laporan BestBrokers membandingkan harga rumah per meter persegi di berbagai negara dengan rata-rata pendapatan tahunan per kapita untuk mengukur tingkat keterjangkauan perumahan.
Turki menjadi negara dengan tingkat kesulitan tertinggi, dengan rasio antara harga rumah dan pendapatan mencapai 81,45%. Harga rumah di negara tersebut berkisar di angka US$2.414,64 per meter persegi, sedangkan pendapatan tahunan rata-rata hanya sekitar US$2.964,60. Dengan kondisi ini, memiliki rumah bagi warga berpenghasilan rata-rata di Turki tampaknya hanya sebatas impian.
Nepal berada di posisi kedua dengan harga rumah sekitar US$1.454,66 per meter persegi dan pendapatan tahunan US$2.463,98. Sementara itu, India menempati urutan ketiga, dengan harga rumah di kisaran US$1.423,10 per meter persegi dan pendapatan tahunan rata-rata sebesar US$2.854,47.
Indonesia sendiri menduduki peringkat keempat dalam daftar ini dengan rasio harga rumah terhadap pendapatan mencapai 48,35%. Di Indonesia, harga properti rata-rata mencapai US$1.111,92 per meter persegi, sementara rata-rata gaji tahunan hanya sebesar US$2.299,67. Untuk membeli rumah dengan luas 100 meter persegi, seseorang di Indonesia memerlukan sekitar 563 kali gaji bulanan atau sekitar 47 tahun—tentu dengan asumsi seluruh penghasilan disimpan tanpa digunakan untuk kebutuhan lain.
Sebaliknya, negara-negara seperti Afrika Selatan, Amerika Serikat, Bahrain, dan Denmark tergolong lebih mudah dalam hal kepemilikan rumah. Meskipun harga properti di negara-negara tersebut juga tinggi, tingginya pendapatan per kapita memungkinkan warganya untuk tetap dapat membeli hunian dengan lebih terjangkau.
Stimulus bagi Sektor Properti
Pemerintah kembali menghadirkan insentif pajak untuk sektor perumahan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025. Kebijakan ini mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung pemerintah (DTP) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun selama tahun anggaran 2025. Langkah ini diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, seberapa efektif kebijakan ini dalam jangka panjang?
PMK 13/2025 memungkinkan pembeli rumah tapak atau apartemen dengan harga jual maksimal Rp5 miliar untuk mendapatkan insentif PPN. Untuk transaksi hingga Juni 2025, insentif yang diberikan mencapai 100% dari PPN terutang untuk bagian harga sampai Rp2 miliar. Setelah Juli 2025, insentifnya berkurang menjadi 50%. Insentif ini berpotensi meningkatkan penjualan rumah, khususnya di segmen menengah.
Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari program serupa yang diterapkan sejak 2023. Data sebelumnya menunjukkan insentif PPN berhasil mendorong transaksi properti, meskipun dampaknya tidak merata.
Dampak Positif dan Tantangan
Secara langsung, kebijakan ini akan menguntungkan pengembang dan calon pembeli. Developer mendapat insentif untuk menyelesaikan proyek tepat waktu agar rumah bisa diserahterimakan dalam periode insentif. Sementara itu, konsumen bisa membeli rumah dengan beban pajak lebih ringan.
Namun, ada beberapa tantangan yang perlu dicermati. Pertama, skema ini hanya berlaku untuk rumah baru, sehingga pasar rumah bekas tidak mendapatkan dampak langsung. Kedua, ada risiko peningkatan harga rumah akibat kenaikan permintaan jangka pendek. Jika harga naik signifikan, manfaat insentif ini bisa tergerus.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi menciptakan efek "kejar target" dalam periode insentif, yang bisa berujung pada over-supply di sektor properti. Jika daya beli masyarakat tidak benar-benar pulih pasca-insentif, pasar bisa mengalami perlambatan kembali.
Data Kepemilikan Rumah di Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, angka tersebut mencapai 84,98%, kemudian sedikit menurun menjadi 84,68% pada 2021, dan kembali turun ke 80,71% pada 2022. Penurunan ini menunjukkan bahwa semakin banyak rumah tangga yang tinggal di rumah dengan status sewa atau kontrak, yang dapat mengindikasikan tantangan dalam kepemilikan rumah.
Secara regional, terdapat variasi signifikan dalam kepemilikan rumah. Misalnya, Provinsi Bali mencatat 83,52% rumah tangga menempati rumah milik sendiri pada tahun 2024. Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan peningkatan dari 76,53% pada 2021 menjadi 85,50% pada 2023. Di sisi lain, DKI Jakarta memiliki persentase yang lebih rendah, dengan hanya 1,47% rumah tangga menempati rumah milik sendiri pada tahun 2022. Data ini menggambarkan disparitas kepemilikan rumah di berbagai wilayah Indonesia, yang mungkin dipengaruhi oleh faktor ekonomi, urbanisasi, dan ketersediaan lahan.
Ke Mana Arah Kebijakan Perumahan?
PMK 13/2025 merupakan langkah konkret pemerintah dalam mendukung kepemilikan rumah bagi masyarakat. Insentif fiskal ini menjadi solusi yang tepat untuk membantu masyarakat, khususnya generasi Milenial, Gen X, dan kelompok berpenghasilan menengah, dalam memperoleh hunian dengan lebih mudah. Dengan adanya pengurangan beban PPN, daya beli masyarakat dapat meningkat, yang pada akhirnya turut menggerakkan sektor properti dan perekonomian nasional.
Namun, agar manfaatnya lebih luas dan berkelanjutan, kebijakan ini perlu didukung dengan strategi jangka panjang seperti akses pembiayaan yang lebih fleksibel, pengembangan perumahan terjangkau di lokasi strategis, serta edukasi keuangan bagi calon pembeli rumah. Dengan kombinasi langkah-langkah tersebut, kebijakan perumahan akan semakin inklusif dan memberikan dampak positif bagi seluruh lapisan masyarakat.
PMK 13/2025 adalah bukti nyata bahwa pemerintah hadir untuk memberikan solusi dan kemudahan bagi masyarakat dalam memiliki hunian yang layak.
Kategori: Kebijakan Fiskal
0 Komentar |
---|