Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi fondasi utama bagi pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melayani masyarakat. Setiap kali Kementerian Keuangan mengumumkan APBN, kita disuguhi deretan angka: triliunan untuk infrastruktur, belasan triliun untuk pendidikan, dan setumpuk alokasi lain yang sering kali terasa asing. Padahal, APBN sejatinya bukan hanya kumpulan angka. Ia adalah cerminan janji negara kepada rakyatnya—tentang sekolah yang ingin dibangun, subsidi yang akan disalurkan, dan kesejahteraan yang diperjuangkan.
Sayangnya, tak sedikit masyarakat yang merasa "tidak memiliki kedekatan" dengan APBN. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena tidak mengerti. Di sinilah peran komunikasi menjadi penting. Dan yang menjadi ujung tombaknya adalah humas pemerintah, dalam hal ini humas Kementerian Keuangan. Mereka adalah jembatan antara rumitnya kebijakan fiskal dan keseharian masyarakat yang ingin tahu: "Apa dampaknya untuk saya?"
Ketika Angka-angka Tak Bicara Banyak
Mari kita jujur. Tidak semua orang punya waktu (atau minat) untuk membaca laporan APBN Kita yang memuat istilah-istilah seperti “defisit fiskal”, “belanja produktif”, atau “insentif perpajakan”. Ini bukan karena publik malas, tetapi karena bahasa kebijakan sering kali tidak berpihak pada rakyat. Maka, tugas humas bukan hanya menyampaikan, tapi juga menerjemahkan.
Sosiolog Erving Goffman dalam teorinya tentang framing menjelaskan bahwa cara suatu isu dikemas akan memengaruhi cara publik memahaminya. Ketika pemerintah menyatakan akan mengurangi subsidi energi dan mengalihkan dana ke pendidikan, niatnya baik. Tapi jika hanya disampaikan sebagai “efisiensi fiskal”, masyarakat bisa salah paham. Mereka bisa merasa haknya dipangkas, tanpa tahu bahwa yang diutamakan justru masa depan anak-anak mereka.
Komunikasi Itu Bukan Monolog
James E. Grunig, seorang pakar humas, pernah menyampaikan bahwa komunikasi yang ideal adalah komunikasi dua arah. Pemerintah tidak hanya bicara, tapi juga mendengar. Humas tidak hanya menjadi corong, tetapi juga radar—yang menangkap suara, keluhan, dan aspirasi publik untuk disampaikan ke pembuat kebijakan.
Sayangnya, pendekatan ini belum sepenuhnya dijalankan. Dalam banyak kasus, komunikasi kebijakan masih seperti papan pengumuman: satu arah, formal, dan dingin. Padahal, masyarakat ingin dilibatkan, ingin tahu alasan di balik setiap kebijakan. Mereka butuh kejelasan, bukan jargon.
Ambil contoh alokasi anggaran pendidikan. Ketika pemerintah menyatakan bahwa 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan, masyarakat sering kali bertanya: “Kenapa sekolah kami masih rusak?”, atau “Mengapa guru di daerah kami belum sejahtera?”. Ini bukan semata-mata soal distribusi anggaran, tapi soal rasa keadilan yang belum dirasakan. Jika tidak dijelaskan dengan jujur dan transparan, ketidakpercayaan akan tumbuh.
Humas: Pengelola Persepsi, Bukan Tukang Klarifikasi
Dalam dunia komunikasi publik, persepsi bisa menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan kebijakan. Persepsi inilah yang harus dikelola sejak awal—bukan setelah terjadi krisis. Humas bukan hanya dibutuhkan saat publik protes, tapi sejak perumusan awal kebijakan.
Di sinilah sebenarnya humas Kementerian Keuangan punya ruang strategis. Mereka bisa membangun narasi kebijakan yang bukan hanya rasional, tapi juga emosional. Bahwa setiap rupiah dalam APBN punya cerita: tentang puskesmas yang berdiri di desa, tentang petani yang mendapat pupuk bersubsidi, tentang UMKM yang bisa bertahan karena insentif fiskal.
Pendekatan komunikasi yang berbasis visual dan narasi personal jauh lebih efektif dalam menyampaikan kebijakan kompleks seperti APBN. Cerita nyata dari penerima manfaat lebih menyentuh daripada sekadar infografik formal.
Menuju Komunikasi yang Lebih Manusiawi
Kementerian Keuangan sejatinya sudah memulai berbagai upaya positif. Laporan APBN Kita kini hadir dalam format digital dan lebih terbuka. Kanal media sosial mereka juga cukup aktif menjawab isu-isu hangat. Namun, tantangan komunikasi bukan hanya soal kanal, tapi soal pendekatan.
Bayangkan jika humas Kemenkeu menggandeng tokoh lokal, komunitas, atau influencer untuk menjelaskan APBN dengan bahasa sehari-hari. Atau membuat video pendek tentang dampak nyata belanja negara, bukan hanya tayangan seremoni. Atau bahkan membuka forum publik agar masyarakat bisa bertanya langsung soal alokasi anggaran di daerahnya.
Inisiatif semacam ini akan membuka ruang dialog, memperkuat kepercayaan, dan yang terpenting—membuat publik merasa dilibatkan. Karena sejatinya, APBN bukan milik pemerintah, tapi milik rakyat. Dan rakyat berhak tahu dan memahami ke mana uang mereka dibelanjakan.
APBN Adalah Cerita Kita Semua
Jika kita sepakat bahwa kebijakan publik yang baik harus berpihak pada rakyat, maka komunikasi kebijakan juga harus berpihak pada rakyat. Ia harus jujur, terbuka, dan membumi. Bukan sekadar menyampaikan, tapi juga menyentuh hati.
Dalam hal ini, humas Kementerian Keuangan punya peran vital. Mereka bukan sekadar menyusun rilis pers atau menjawab kritik, tapi bertanggung jawab untuk membentuk persepsi publik atas arah dan prioritas negara. Ketika humas berhasil membuat rakyat merasa dekat dan mengerti APBN, maka kebijakan pun akan lebih mudah diterima, diawasi, dan didukung.
Karena pada akhirnya, APBN bukan hanya tentang uang. Ia adalah cermin ke mana negara ini bergerak, dan bagaimana ia menempatkan rakyat di dalamnya.
Kategori: APBN
0 Komentar |
---|