Digital Signature pada SAKTI, urgent-kah?

30 Maret 2022, Penulis : Muhammad Nur

Tahun 2022 ini menjadi tahun pertama SAKTI (Sistem Akuntansi Tingkat Instansi) diimplementasikan secara penuh kepada seluruh Satuan Kerja (Satker) di seluruh penjuru Nusantara. SAKTI menjadi salah satu core system terpenting dalam rangkaian Platform Pembayaran Pemerintah, selain SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara) dan Aplikasi Gaji (GPP). SAKTI berperan penting dalam mengintegrasikan seluruh tahapan penganggaran Satker, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggung jawaban, mulai dari aspek keuangan hingga aspek pengelolaan aset. Selanjutnya, salah satu yang menjadi faktor penting dalam SAKTI adalah adanya single database sehingga dapat mengurangi secara signifikan potensi-potensi data berganda yang mungkin selama ini selalu menjadi permasalahan klasik dalam penganggaran pemerintah. SAKTI juga dapat terus dikembangkan seiring dengan perubahan regulasi dan kebutuhan stakeholders, dengan tujuan untuk mewujudkan tata kelola keuangan negara yang tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan akuntabel (djpb.kemenkeu.go.id, 22 Januari 2022).

Selanjutnya sebagaimana telah disinggung di atas, implementasi SPAN dan SAKTI diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan anggaran yang efisien, ekonomis, dan efektif. Namun pada praktiknya (setidaknya berdasarkan observasi penulis beberapa bulan belakangan), beberapa proses yang ada di SAKTI juga belum optimal dalam mewujudkan tujuan di atas. Sebut saja pada proses (SOP) penerbitan dokumen SPP dan SPM. Saat ini, proses tersebut masih melibatkan prosedur manual dimana SPP dicetak lalu ditanda tangani oleh PPK untuk selanjutnya diproses SPM-nya di SAKTI lalu kemudian dicetak SPM tersebut untuk ditanda tangani dan diberi stempel oleh PPSPM. Selanjutnya, SPM yang telah bertanda tangan dan stempel basah itu dipindai lalu diunggah ke SAKTI, dan kemudian di-OTP untuk diproses/dikirim ke KPPN. Proses tersebut tentu dapat memakan waktu yang relatif lebih lama, terutama ketika terdapat kendala-kendala teknis dan non-teknis seperti para pejabat sedang tidak ditempat, mesin printer sedang error, kertas dan/tinta printer habis, dan sebagainya. Dari perspektif lain dapat dilihat juga bahwa proses manual ini tidaklah eco-friendly karena menghabiskan banyak kertas. Sebuah proses yang inefektif dan inefisien, bukan? Lalu, bagaimana solusi yang bisa ditawarkan atas permasalahan tersebut? Digital Signature pada aplikasi SAKTI dirasa dapat menjadi alternatif solusi yang relatif masuk akal.

Sebagaimana kita ketahui bahwa penerapan digital signature bukanlah hal baru dalam sektor pemerintahan. Pada konteks Kementerian Keuangan, digital signature telah diterapkan untuk penanda tanganan dokumen seperti nota dinas atau surat-surat lainnya di aplikasi Nadine. Dengan mengubah proses tersebut menjadi digital signature, maka waktu pemrosesan SPP dan SPM dapat dipersingkat serta lebih peduli lingkungan (hemat kertas). Selain itu, dengan adanya digital signature maka penyimpanan dokumen dapat lebih mudah karena dilakukan secara otomasi (digitalisasi), tanpa harus menyimpan berkas fisiknya. Sementara itu pada proses existing, SPM yang telah ditanda tangani secara manual pun tetap harus diunggah ke aplikasi SAKTI. Artinya, dokumen digital dalam format .pdf tetap harus disimpan dalam database SAKTI. Jadi, dengan menggunakan digital signature akan memangkas beberapa prosedur existing tersebut. Penggunaan OTP di SAKTI yang sudah diimplementasikan pada proses existing dapat menjadi sebuah bukti dan contoh serta analogi bahwa mekanisme dan proses digital pada sebuah proses penganggaran/keuangan negara dapat dilakukan dengan mudah melalui bantuan teknologi informasi.

Inovasi ini mungkin bukan sebuah kebaruan dari perspektif teknologi informasi. Namun demikian untuk proses di penganggaran pemerintah, bisa jadi hal ini merupakan sebuah terobosan dari beberapa perspektif seperti aspek peduli lingkungan/eco-friendly/hemat kertas, dan juga efektivitas dan efisiensi waktu dalam hal mempercepat proses SPP dan SPM. Dengan digital signature, bahkan ketika para pejabat tidak sedang ditempat-pun, SPP dan SPM tetap bisa ditanda tangani dan diproses/dikirim ke KPPN. Belum lagi jika melihat kendala seperti printer rusak, kehabisan tinta dan kertas, dan sebagainya. Jangan pula dilupakan mengenai penggunaan tinta printer, tinta stempel, pulpen, dan lain-lain. Memang mungkin bukan biaya yang relatif besar, namun jika diakumulasi dalam hitungan tahun atau kuantitas, tentu sebuah penghematan anggaran yang cukup lumayan.

Selanjutnya keuntungan lain jika digital signature ini diterapkan pada SAKTI, maka database yang terbentuk dapat pula dengan relatif lebih mudah dianalisis. Big Data yang terbentuk pada proses otomasi tentu akan lebih mudah di-collecting dan dianalisis ketimbang menggunakan file berupa arsip .pdf yang merupakan hasil scan dan unggahan dokumen hardcopy. Dengan digital signature pula, proses redundant dapat dihindari. Tidak perlu lagi operator melakukan proses cetak yang harus ditanda tangani pejabat (PPK dan PPSPM) lalu mengunggah kembali ke aplikasi. Proses ini tentulah tidak efektif dan tidak efisien.

Mungkin sebagian besar kita akan bertanya dan meragukan usulan ini. Bagaimana dengan aspek keandalan data serta tanggung jawab dari perspektif hukumnya? Pada prinsipnya, pemisahan kewenangan dan tanggung jawab para pejabat pengelola keuangan di Satuan Kerja serta Bendahara Umum Negara telah sangat jelas diatur dalam beberapa produk perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2021 tentang Pelaksanaan Sistem SAKTI. Dengan dasar hukum yang telah ada, maka kita sepatutnya tidak perlu takut dan ragu apabila nantinya terjadi penyalahgunaan kewenangan dan/atau fraud pada proses digital signature di SAKTI. Bahkan, prosedur OTP yang saat ini berlaku di SAKTI-pun sebenarnya serupa (sama saja) dengan digital signature. Jadi, ketika nantinya terjadi fraud, secara teknologi informasi hal itu pun akan jauh lebih mudah ditelusuri penyalahgunaannya.

Maka, digital signature dirasa dapat menjadi sebuah alternatif solusi yang masuk akal pada konteks ini. Bukankah dokumen yang diproses di SPAN juga merupakan ADK dari SAKTI tanpa berkas fisik? Bukankah SP2D yang sekarang ini terkirim ke sistem perbankan juga tidak ada lagi berkas fisiknya? Maka, digital signature pada SPP dan SPM menurut kami merupakan sebuah kebutuhan dan keharusan.

 

Disclaimer: tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja saat ini.

Kirim Komentar

0 Komentar