Di Balik Rencana Perluasan PPN

22 Juni 2021, Penulis : Siko Dian Sigit Wiyanto

Penerapan PPN di Indonesia di mulai pada 1983 untuk menggantikan pajak penjualan yang saat itu masih berlaku. Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM), pengenaan PPN dikenakan karena adanya nilai tambah setelah melalui proses produksi. Proses produksi tersebut menggunakan faktor-faktor produksi yang antara lain penggunaan pegawai, metode, bahan, alat, dan sumber daya lainnya. 

PPN merupakan salah satu jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat selain pajak penghasilan, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan bea meterai. Diantara berbagai jenis pajak tersebut, PPN sifatnya relatif paling dinamis. Perubahan varian barang dan jasa dan pola konsumsi membuat regulasi PPN perlu ditinjau dalam periode tertentu. Jadi tidak mengherankan UU PPN  berubah sampai tiga kali dan terakhir diubah melalui UU Nomor 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

PPN yang mengemuka di media akhir-akhir ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yakni PPN sembako, PPN jasa pendidikan, dan PPN Jasa Kesehatan. Angle yang mengemuka di sebagian pemberitaan dan percakapan di media sosial, PPN akan dikenakan ke semua jenis sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan akan dikenakan. Perlu diingat bahwa regulasi pajak tidak hanya undang-undang, melainkan juga dilengkapi dengan regulasi peraturan perundang-undangan di bawahnya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri keuangan sampai perdirjen pajak. Regulasi pajak tidak akan berjalan dengan baik jika hanya ada undang-undang tanpa peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Hal pertama yang perlu diluruskan ialah dengan menjadi obyek pajak pasti akan dipungut pajak. Pemerintah sudah menjelaskan bahwa sembako yang dijual di pasar tradisional tidak dikenakan PPN. Begitu juga dengan sekolah, objek yang dikenakan PPN merupakan sekolah mewah. Sedangkan contoh jasa kesehatan yang rencananya akan dikenakan PPN ialah operasi plastik untuk kepentingan estetika.

Perkembangan Produk Meningkatkan Nilai Tambah
Perubahan varian bahan pangan karena akulturasi budaya seperti daging wagyu membuat kualitas daging melebihi standar pasar. Daging wagyu yang dikenal empuk dengan cita rasa tinggi membuat harganya menjadi lebih mahal. Tentu saja pembuatan daging wagyu membutuhkan bahan dan metode tersendiri. Padahal kebutuhan protein hewani dari daging sapi pun dapat dipenuhi dari daging sapi segar biasa. Daging sapi segar tersebut biasanya tersedia di pasar tradisional, tidak seperti daging wagyu yang biasanya dijual di supermarket. Perancis mengenakan tarif 10% untuk produk-produk pertanian. Sedangkan Turki mengenakan tarif 8% untuk basic food stuff. Arab Saudi mengenakan PPN untuk private education  services.

Untuk bidang pendidikan, adanya fasilitas lebih yang diberikan oleh sekolah mewah melebihi sekolah swasta biasa membuat biaya pendidikannya di atas rata-rata. Pada umumnya sekolah-sekolah mewah—sebagian mengklaim telah berstandar internasional—tersebut hanya diakses oleh kalangan atas. Meski demikian, banyak sekolah standar nasional baik negeri dan swasta juga sama-sama membuahkan lulusan yang berkualitas. Tentu saja bersekolah di sana tidak harus mengeluarkan uang sebanyak di sekolah mewah.

Jasa kesehatan sendiri pada dasarnya merupakan kebutuhan primer. Jasa kesehatan diperlukan agar tubuh tetap sehat. Jasa kesehatan sendiri bersifat kuratif, preventif, maupun rehabilitatif. Perbedaan kelas akomodasi di rumah sakit (sebagai contoh ruang perawatan VIP dan VVIP) membuat adanya diversifikasi harga yang cukup siginifikan daripada kelas perawat standar (kelas I, II, dan III). Perkembangan dunia pariwisata pun merambah ke jasa kesehatan dan berkolaborasi menjadi wisata medis. Di Indonesia, wisata medis pun mulai digalakkan untuk menarik wisatawan. Karena merupakan kebutuhan tersier maka wisata medis perlu dikenakan PPN untuk lebih mewujudkan rasa keadilan. Tentu saja penerimaan pajak membantu negara untuk membiayai pembangunan fisik dan manusia agar lebih dapat diakses oleh kalangan menengan ke bawah.

RUU perubahan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang beredar sebenarnya hanya memuat perubahan status obyek pajak PPN. Hal itu ditafsiri sendiri oleh beberapa media bahwa menjadi obyek pajak pasti dikenakan pajak. Kemudian tafsiran tersebut menjadi bahan perbincangan publik termasuk di media sosial. Perlu ditekankan bahwa menjadi obyek pajak tidak lantas pasti kena pajak. Pemerintah dapat memberikan fasilitas pajak kepada barang dan jasa agar dapat dijangkau masyarakat non kalangan atas. Dengan demikian, meski menjadi obyek kena pajak, komoditas primer dapat diberikan fasilitas agar masyarakat tidak terbebani kecuali masyarakat yang mengkonsumsi barang/jasa yang tergolong mewah.

Saat ini ada beberapa skema fasilitas yang dapat diberikan kepada komoditas yang merupakan kebutuhan primer dan bukan merupakan varian mewah. Fasilitas pajak yang dapat diberikan antara lain namun tidak terbatas pada tarif PPN nol persen dan PPN tidak dipungut. Fasilitas tersebut dapat diberikan melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah sampai Peraturan Menteri Keuangan.

Dapat dipahami tujuan reformasi PPN ini antara lain karena adanya perubahan varian produk dan preferensi konsumen. Di sisi lain, pajak yang merupakan salah satu alat kebijakan fiskal dan sumber dominan penerimaan negara. APBN yang sudah bekerja keras membiayai penanganan pandemi dan mempercepat pemulihan ekonomi. Dengan demikian, dibutuhkan penerimaan pajak yang lebih tinggi salah satunya dalam bentuk perluasan PPN. 

Diyakini bahwa rencana perluasan PPN untuk barang dan jasa yang tergolong mewah, tidak akan mempengaruhi permintaan kalangan atas. Dengan kata lain pengenaan PPN, membuat permintaan barang dan jasa tersebut inelastis terhadap perubahan harga. Sementara itu, RUU KUP pun harus dibahas dengan DPR. Tentu saja semua pihak berhak memberikan aspirasi seperti mengenai definisi ‘barang dan jasa kalangan atas’. Masukan dari berbagai kalangan diperlukan agar sistem perpajakan semakin sempurna dan lebih berkeadilan.

 

Siko Dian Sigit Wiyanto
Pranata Humas Ahli Pertama
Biro Komunikasi dan Layanan Informasi
Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

Kategori: Perpajakan

Kirim Komentar

0 Komentar