Dampak Covid-19 Terhadap Cash Flow Anggaran Di Daerah

24 September 2021, Penulis : Irfan Sofi

Gubernur DKI Jakarta dalam rapat terbatas dengan Presiden Jokowi pada awal bulan April 2020 menyampaikan bahwa tantangan yang dihadapi oleh Provinsi DKI Jakarta bukan pada anggaran tapi pada cash flow sehingga ada keleluasaan untuk penanganan Covid-19. Beliau juga meminta kepada Pemerintah Pusat untuk segera dapat mencairkan piutang Dana Bagi Hasil (DBH) dari pajak yang sebesar Rp5,1 Triliun. DKI Jakarta yang memiliki APBD cukup besar saja terdampak dengan adanya Covid-19, bagaimana dengan daerah-daerah lain yang memiliki APBD kecil dan mengalami dampak yang sama dalam menghadapi serangan pandemi Covid-19.

Kita semua mengetahui bahwa DKI Jakarta memang sangat mengandalkan penerimaan daerah dari sektor Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dimana dalam APBD DKI Jakarta Tahun 2020, penerimaan dari PDRD menyumbang kontribusi terbesar dengan besaran 62% terhadap total pendapatan APBD. Dengan adanya pandemi Convid-19 ini menyebabkan aktivitas perekonomian di Jakarta menjadi turun dan berdampak pada penerimaan dari sektor PDRD. Sedangkan DKI Jakarta merupakan daerah dengan jumlah yang terpapar Covid-19 terbesar di Indonesia. Untuk itu, diperlukan anggaran biaya yang besar untuk penanganan dan penanggulangan Covid-19.

Daerah seperti DKI Jakarta yang lebih banyak mengandalkan Pajak Daerah sangatlah terasa dari segi cash flow APBD di daerah. DKI tidak mendapatkan DAU seperti halnya daerah lain di Indonesia yang disalurkan ke daerah setiap bulan. DKI Jakarta hanya mendapatkan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) di luar DAU yang di salurkan berdasarkan triwulanan atau tahapan tertentu. DKI mendapatkan TKDD terbesar dari Dana Bagi Hasil (DBH) khususnya DBH Pajak Pasal 21 yang disalurkan kepada daerah setiap triwulanan. Seperti halnya target penerimaan negara yang terkoreksi turun dari sektor utama yaitu perpajakan, maka DKI Jakarta juga mengalami hal yang sama dari pajak daerah.

Sebenarnya setiap daerah dalam keadaan normal memiliki sistem perencanaan anggaran kas yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan APBD. Daerah sudah bisa memprediksikan rencana penerimaan kas setiap bulan baik dari penerimaan TKDD maupun dari PAD. Namun karena keadaan yang luar biasa yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 maka pastinya ada pergeseran yang harus dilakukan oleh daerah baik dari segi penerimaan atau pengeluaran. Pemerintah Pusat telah mengeluarkan beberapa aturan yang dapat dipedomani oleh daerah dalam melakukan perubahan-perubahan di APBD salah satu dalam rangka mendukung cash flow di daerah. 

Dalam APBD sebenarnya ada komponen belanja yang dianggarkan untuk pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah. Belanja tersebut dinamakan Belanja Tak Terduga atau (BTT), dimana untuk tahun 2020 untuk seluruh APBD (kecuali Kabupaten Mappi) totalnya mencapai Rp3,23 triliun. Daerah yang paling banyak menganggarkan BTT adalah Kabupaten Bungo dengan Rp192,17 miliar disusul ditempat kedua Provinsi DKI Jakarta dengan Rp188,9 miliar. Sedangkan untuk daerah yang menganggarkan BTT terkecil yaitu Kabupaten Meybrat dengan anggaran Rp100 juta disusul berikutnya Kabupaten Muna dengan Rp178,9 juta.

Melihat anggaran BTT yang ada di masing-masing Pemerintah Daerah, maka sebagian besar daerah menggunakan anggaran tersebut untuk penanggulangan dan pencegahan Covid-19. Selain itu, ada yang menggunakan belanja langsung Dinas Kesehatan, TKDD dan refocusing anggaran. Sehingga total dana yang dianggarkan untuk penanganan Covid-19 dari 444 Pemda yang telah menyampaikan laporannya ke DJPK per 1 April 2020 adalah sekitar Rp4,67 triliun. Sebenarnya angka tersebut bisa bertambah dengan melihat berapa lama waktu pandemi ini akan berakhir. 

Sebenarnya untuk anggaran penanganan Covid-19 di daerah tidak hanya dari anggaran yang ada di APBD. Peran swasta dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) yang ada di daerah bisa dimanfaatkan dan dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam mengatasi permasalahan cash flow. Sudah ada beberapa daerah yang telah berhasil mengandeng pihak swasta untuk berkontribusi dalam penanganan Covid-19 ini. Bantuan dari CSR bisa di disesuaikan dengan kebutuhan di daerah (APD, Masker, Hand Sanitizer, uji tes, pemberian sembako) dan bisa lebih cepat jika dibandingkan dengan menggunakan mekanisme anggaran APBD. Namun demikian, bantuan-bantuan tersebut tetap harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada terkait pengelolaan keuangan daerah.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, sumber pendapatan daerah terdiri atas:

  • pendapatan asli daerah meliputi:
  1. pajak daerah;
  2. retribusi daerah;
  3. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
  4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;
  • pendapatan transfer; dan
  • lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Lain-lain pendapatan daerah yang sah diatur dalam Pasal 295 UU Nomor 23 tahun 2014 yang menerangkan bahwa:

  1. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf c merupakan seluruh pendapatan Daerah selain pendapatan asli Daerah dan pendapatan transfer, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat, Daerah yang lain, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka alokasi dana CSR untuk pembangunan daerah dapat dikategorikan sebagai pendapatan daerah berupa hibah. Selain itu, semua penerimaan dan pengeluaran daerah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah (BUD). Dalam hal penerimaan dan pengeluaran daerah tidak dilakukan melalui RKUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dilakukan pencatatan dan pengesahan oleh BUD.

Penanganan Covid-19 di daerah tidak hanya mengandalkan dari anggaran yang ada di APBD yang memiliki keterbatasan-keterbatasan. Oleh sebab itu, diperlukan inovasi dari Pemerintah Daerah untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut namun tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang ada, salah satunya melalui CSR utamanya kepada swasta yang ada di daerah untuk ikut serta membantu dalam penanganan Covid-19. Keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 di daerah perlu adanya kerjasama semua pihak yang terkait, hal ini sesuai dengan pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan upaya-upaya kolaboratif pemerintahan dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup yang lebih luas guna mencapai tujuan pembangunan kebijakan, manajemen program, dan pelayanan publik atau Whole of Government (WoG).

Disclimer : Tulisan ini merupakan pendapat penulis pribadi dan tidak mencerminkan sikap institusi penulis berada

Kategori: Covid-19

Kirim Komentar

0 Komentar