Dalam RAPBN TA 2023 yang disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR RI tanggal 16 Agustus 2022, terdapat optimisme yang tinggi bahwa Pemerintah dapat melanjutkan kinerja positif sepanjang tahun 2022 ini dalam mengawal perekonomian nasional. Kinerja pertumbuhan pada triwulan II tahun 2022 yang masih perkasa dan mampu tumbuh 5,44 persen (yoy) serta kemampuan Pemerintah menahan laju inflasi pada tingkat yang relatif moderat yaitu sebesar 4,9 persen (yoy) relatif jauh lebih baik dari kebanyakan negara. Salah satu langkah Pemerintah dalam APBN TA 2022 adalah menjadikan APBN sebagai shock absorber dalam mengantisipasi dampak inflasi yang dipicu antara lain oleh terjadinya disrupsi supply sejalan dengan proses pemulihan yang berlangsung sejalan dengan semakin terkendalinya pandemi Covid-19, terganggunya perdagangan untuk komoditas energi dan pangan dengan konflik geo politik Rusia dan Ukraina, serta kebijakan pengetatatan moneter yang dilakukan The Fed dan negara maju dalam rangka melindungi perekonomiannya dari dampak yang lebih masif. Tentunya di sisi lain hal ini semakin memberikan tekanan kepada negara-negara berkembang dan kurang sejahtera dalam menjaga stabilitas perekonomiannya.
Peran APBN sebagai shock absorber tersebut, dalam kasus Indonesia di tahun 2022, sangat terbantu dengan adanya windfall atas kenaikan harga komoditas antara lain minyak bumi, batu bara, CPO, dan nikel yang mampu mengerek kinerja pendapatan negara bahkan hingga bulan Juli 2022 pendapatan negara mampu tumbuh 50,3 persen (yoy). Tambahan penerimaan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam menjaga stabilisasi perekonomian melalui pengendalian tingkat inflasi serta menjaga daya beli masyarakat. Besaran alokasi untuk subsidi energi dan kompensasi, dalam postur APBN tahun 2022 sesuai Perpres 98 tahun 2022 meningkat sangat signifikan menjadi sebesar Rp502 triliun. Bahkan menurut perhitungan beberapa pengamat, volume konsumsi BBM Solar dan Pertalite berpotensi melebihi kuota yang telah ditetapkan oleh Pemerintah jika tidak ada kebijakan lebih lanjut yang diambil Pemerintah. Selain itu, Pemerintah juga mengalokasikan tambahan untuk penebalan program perlindungan sosial untuk dapat menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan.
Pada tahun 2023, Pemerintah memperkirakan harga komoditas akan mulai terkoreksi yang berdampak kepada pendapatan negara. Maka, strategi lain yang lebih berkelanjutan perlu ditempuh dalam rangka menjaga fundamental perekonomian serta kesinambungan APBN. Terlebih, pada RAPBN tahun 2023 Pemerintah telah mengambil langkah kebijakan konsolidasi fiskal dengan defisit sebesar 2,85 persen PDB. Dengan demikian langkah penguatan kualitas belanja, termasuk program perlindungan sosial perlu diperhatikan agar dapat berdampak optimal. Anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN tahun 2023 sebesar Rp479,1 triliun yang diarahkan untuk: (1) perbaikan data dan targeting Perlinsos melalui Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), (2) penguatan graduasi dari kemiskinan, (3) penguatan perlinsos sepanjang hayat termasuk untuk perlindungan kepada lansia dan penyandang disabilitas, dan (4) penguatan perlindungan sosial adaptif. Untuk kebijakan di bidang energi, Pemerintah akan meningkatkan besaran subsidi tetap solar menjadi Rp1000/liter dari sebelumnya Rp500/liter.
Terhadap kebijakan di bidang perlindungan sosial tersebut, perlu diperhatikan beberapa hal berikut: (1) Alokasi program perlindungan sosial yang relatif tinggi tersebut menggambarkan konsistensi Pemerintah dalam upaya percepatan penurunan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, (2) Kenaikan besaran subsidi tetap solar merupakan sinyal Pemerintah untuk dapat kembali menyehatkan APBN dan perekonomian, karena kebijakan saat ini (menjadikan APBN menyerap dampak kenaikan harga energi) bukan kebijakan yang long lasting, bahkan berpotensi menyandera APBN dalam upaya merealisasikan target pembangunan nasional jika terus dilakukan. Sebagai gambaran, Pemerintah terakhir kali melakukan penyesuaian harga BBM pada tahun 2016, (3) Kebijakan Regsosek perlu dimonitor secara intensif mengingat punya peranan yang sangat penting yaitu meningkatkan ketepatan sasaran untuk program perlindungan sosial existing, bermanfaat dalam penajaman program termasuk dalam upaya perluasan penerima manfaat dan penyesuaian besaran manfaat, serta desain program yang lebih tepat dan berkeadilan antara lain untuk kalangan lansia dan penyandang disabilitas. Kemudian, sosialisasi yang lebih masif kepada publik untuk menekankan bahwa program perlindungan sosial khususnya subsidi serta bansos yang diberikan Pemerintah ditujukan kepada masyarakat yang berhak dan tepat, bukan untuk semua warga negara. Bagi warga yang memiliki kemampuan secara ekonomi, tentunya diharapkan dapat bersikap bijak dengan tidak menikmati subsidi serta bantuan sosial tersebut, sehingga dampak penggunaan APBN untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat dapat dicapai dengan optimal.
Selain itu, langkah Pemerintah yang responsif terhadap dinamika yang ada selama pandemi perlu tetap dilanjutkan, karena hal tersebut terbukti efektif dalam menjaga perekonomian dan daya beli masyarakat. Bagaimana keberhasilan Pemerintah dalam mendesain program bantuan sosial baru seperti kartu Prakerja, Bansos Beras, Bansos Tunai, Bantuan Subsidi Upah, BPUM, dan BLT Minyak Goreng di tengah keterbatasan yang ada tetap dapat diimplementasikan dengan segera dan sebaik mungkin. Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah bagaimana Presiden telah mendorong APBN dan APBD untuk dapat mengutamakan penggunaan produk dalam negeri. Tentunya jika komitmen ini dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan, akan semakin mendorong produktivitas termasuk dari sisi kinerja UMKM. Penulis cukup optimis bahwa program perlindungan sosial di tahun 2023 akan dapat berjalan dengan efektif, namun demikian Pemerintah perlu konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan perlindungan sosial sebagaimana tercantum dalam RAPBN tahun 2023 serta terus mewaspadai dinamika perekonomian global untuk dapat dilakukan respons secara cepat dan tepat dalam memitigasi risiko yang muncul.
Kategori: Kebijakan Fiskal
0 Komentar |
---|