Akeselerasi Realisasi Belanja APBN, Untuk Menjaga Daya Beli Masyarakat Menghadapi Risiko Kenaikan Inflasi

31 Agustus 2022, Penulis : Dwi Harivarman

Memasuki awal semester II 2022, ancaman kondisi perekonomian global mulai bergeser dari risiko akibat pandemi Covid-19 menuju risiko terjadinya resesi akibat dari tekanan inflasi yang tinggi. Pergerakan inflasi secara bulanan di tingkat global menunjukkan tren yang meningkat baik pada negara maju maupun negara berkembang, dimana dampak inflasi yang tinggi mulai terasa pada penurunan pertumbuhan upah riil pekerja di berbagai negara, dan berpotensi menurunkan daya beli dan permintaan konsumen. Kenaikan inflasi juga menjadi kekhawatiran utama para pelaku usaha dunia dibandingkan risiko ketidakstabilan politik dan gangguan rantai pasok bahan komoditas (hasil survei McKinsey & Co. pada 899 perusahaan di dunia, Juni 2022).

Kondisi tingginya tingkat inflasi global mendorong bank sentral di berbagai negara melakukan kebijakan moneter sangat ketat dengan secara agresif menaikkan tingkat suku bunga acuan, seperti yang terjadi pada Sri Lanka, Pakistan, Korea Selatan, Filipina, India, dan juga Amerika Serikat (AS). Berbagai indeks ketidakpastian dan risiko perekonomian global yang meningkat akibat tekanan inflasi yang tinggi mendorong naiknya probabilitas terjadinya resesi pada banyak negara. Berdasarkan survei dari Bloomberg, banyak negara di dunia memiliki probabilitas di atas 20% untuk mengalami resesi ekonomi tahun 2023, utamanya pada negara maju seperti Uni Eropa dan AS.

Khusus untuk AS, sebagai salah satu negara penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi global, hasil analisis Bloomberg menunjukkan bahwa probabilitas AS untuk mengalami resesi mendekati angka 100% pada semester II 2023. Hasil tersebut senada dengan hasil perhitungan berdasarkan Model Markov Switching Dynamic (data 1980-2022) bahwa probabilitas AS untuk mengalami resesi pada semester II tahun 2023 sangat tinggi yaitu sebesar 80% (sumber: Economist Group BRI Research Institute).

Risiko tekanan ekonomi karena tingginya inflasi global juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi partner dagang utama Indonesia (Tiongkok, AS, Korea Selatan, Singapura, dan Uni Eropa) sehingga mengalami perlambatan pada triwulan II 2022. Di saat pertumbuhan ekonomi berbagai negara menurun, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2022 masih cukup impresif yang ditopang peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi dan kinerja ekspor. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2022 mampu mencapai 5,4% didorong oleh pertumbuhan positif dari hampir seluruh sektor lapangan usaha kecuali lapangan usaha Administrasi Pemerintahan dan Jasa Pendidikan. Capaian pada semester I 2022 tersebut mengindikasikan bahwa momentum pemulihan ekonomi Indonesia tetap berjalan dengan baik.

Di tengah menguatnya pemulihan ekonomi nasional, risiko kenaikan inflasi global menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di semester II 2022 yaitu mendorong terjadinya peningkatan inflasi di tingkat domestik. Hal tersebut ditambah dengan peningkatan harga bahan pangan yang sudah terjadi saat ini akibat dari kendala supply serta adanya rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang berpotensi besar mendorong terjadinya peningkatan inflasi hingga akhir semester II 2022. Hasil simulasi Economist Group BRI menunjukkan bahwa tingkat inflasi nasional dapat meningkat hingga lebih dari 5% jika terdapat kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 30% dari harga yang berlaku saat ini.

Untuk mengantisipasi risiko peningkatan inflasi tersebut, realisasi belanja negara dalam APBN yang selama ini berperan sebagai shock absorber tekanan ekonomi di masa pandemi, akan berperan sebagai bumper untuk menyangga daya beli masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. Mengapa daya beli? Ini karena salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional di semester I 2022 adalah konsumsi rumah tangga, yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan konsumsi atau daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat juga merupakan faktor penting dan signifikan dalam mendorong pertumbuhan kredit industri selain suku bunga (hasil Model Ekonometrika BRI Research Institute).

Untuk menjalankan peran sebagai shock absorber peningkatan inflasi, kinerja belanja APBN perlu terus diakselerasi. Sampai dengan akhir Juli 2022, APBN sudah bekerja keras melalui kinerja belanja negara dengan realisasi mencapai Rp1.444,8 triliun atau 46,5% dari target APBN sesuai Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022. Dalam rangka menopang daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, pada tahun 2022 telah tersedia alokasi anggaran bantuan sosial Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) untuk perlindungan masyarakat sebesar Rp154,76 triliun dan penguatan pemulihan ekonomi sebesar Rp178,32 triliun, dimana hingga 5 Agustus 2022 realisasinya sudah mencapai 40,86% yang meliputi: a) Perlinmas Rp77,8 triliun; dan b) Penguatan Pemulihan Ekonomi Rp58,3 triliun.

Selain melalui belanja PC-PEN, upaya pemerintah untuk mengantisipasi risiko kenaikan inflasi di semester II 2022 adalah melalui pemberian bantuan sosial kepada masyarakat dengan mengalihkan belanja subsidi BBM sebesar Rp24,17 triliun untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Bantalan sosial yang disiapkan pemerintah tersebut akan disalurkan dalam tiga bentuk, yaitu: i) Bantuan langsung tunai (BLT) kepada 20,65 juta kelompok atau keluarga penerima manfaat (KPM) dengan nilai bantuan per KPM sebesar Rp600 ribu, yang disalurkan oleh Kementerian Sosial dalam dua termin pembayaran melalui kantor pos di seluruh Indonesia; ii) Pemberian bantuan subsidi upah sebesar Rp600 ribu untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan, dengan total anggaran sebesar Rp9,6 triliun; dan iii) Pengalokasian 2% dari Dana Transfer Umum oleh Pemerintah Daerah untuk membantu sektor transportasi di wilayah masing-masing.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif pada semester I 2022 harus dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan, untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu akselerasi realisasi belanja negara APBN harus terus dilakukan, dengan sinergi dan kerjasama dari semua stakeholders. Dengan belanja APBN sebagai instrumen pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat serta mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga, diharapkan efek dari risiko kenaikan inflasi dapat diatasi dan proses pemulihan ekonomi nasional dapat terus menguat hingga akhir tahun 2022.

Kategori: APBN

Tag: #APBN

Kirim Komentar

0 Komentar